Pagi setelah sarapan bersama di wisma TMII, para peserta kongres Jaringan Mahasiswa Sosiologi se-Jawa (JMSJ) berbaur dalam gedung-gedung arsitektur kebudayaan nusantara yang beragam. Maklum, tanggal 30 Januari ini adalah hari keempat kongres dimana seluruh acara dalam kongres sudah beres. Saatnya sekarang untuk jalan-jalan santai.

Hari itu semua peserta dari berbagai daerah di Jawa dan Bali tertawa bersama saling mengejek. “Munir, tutup mulutnya!” Seru Samuel dari Universitas Nasional sekaligus sang ketua panitia kongres melihat Munir, mantan Koordinator Umum mendongak melihat berbagai pemandangan dengan mulut menganga. “Maklum Wel, di Madura gak ada kereta gantung!” sahut Oliv, sesepuh JMSJ dari UI. Semua tergelak.
Sebagai mantan koordinator umum, Munir memang sasaran empuk bahan ejekan, apalagi asal kampusnya di Universitas Trunojoyo yang ditipologikan sebagai daerah yang masih jauh dari keramaian. “Itu namanya kereta api, Nir. Kalau itu Taxi, yang itu namanya air mancur,” Kata Yoga dari Universitas Kristen Satya Wacana. Spontan Munir menyahut mencoba mengimbangi, “Di sini lampu merah banyak ya, kalau di Bangkalan Cuma satu,” Semuapun kembali tertawa.
Tidak tahu apa yang mendasari panitia memilih lokasi TMII sebagai pusat kegiatan kongres (mungkin karena harga sewanya ekonomis, kali). Meski tidak ada agenda diskusi terkait multiculturalisme dan kebinekaan nusantara dalam kegiatan itu, namun setiap waktu peserta diperlihatkan oleh berbagai macam perbedaan yang menyatu indah. Keindahan itu nampak bukan karena penataan yang seragam akan nilai-nilai ideologis yang tumbuh dari dalam simbol-simbol arsitektur yang dibangun, akan tetapi keindahan itu justru muncul karena berbagai perbedaan yang ada.
Perbedaan yang tidak kalah indah tampak dari berbagai back ground peserta kongres, di mana peserta hadir mewakili 20 kampus dengan corak nilai dan kultur yang beragam. Dinamika dialog formal maupun informal disela-sela kegiatan kadang menaikkan tensi darah, menurunkan semangat kedewasaan menghormati perbedaan sampai dengan perbedaan yang dianggap konyol dan membuat semua tertawa. Rasa-rasanya tidak ada lukisan yang mampu menceritakan indahnya warna perbedaan itu saat kita semua bisa tetap tersenyum bersama.
Namun belum genap satu bulan berlalu dari kegiatan kongres, situasi kebinekaan, toleransi dan solideritas kebangsaan itu tiba-tiba berbalik arah menjadi ancaman yang menakutkan bagi sebagian kelompok kecil saja masyarakat kita. Perbedaan menjadi pisau tajam yang megharu-baru permusuhan, kedengkian, kemarahan hingga berujung pada tindakan anrkis dan pembunuhan. Tiga orang anggota Jamaah Ahmadiyah meninggal pada penyerbuan warga Ahmadiyah di Cikeusik, Tangerang, Banten pada Minggu 6 Februari. Selisih satu hari berikutnya, gerombolan manusia menyerang dan merusak tiga gereja, dua diantaranya dibakar.
Sejenak dahi kita berkerut, mengapa gambaran kebinekaan yang telah diprasastikan dalam TMII itu tiba-tiba hanya tampak indah dalam simbol-simbol arsitektur dan fisik semata? Tidakkah kita mampu mengambil nilai dari semua yang tampak oleh mata kita, mencoba masuk dan mempelajari nilai-nilai penting kemanusiaan yang lahir dan tumbuh dari hal yang jauh dari dalam jiwa kita yang justru tidak akan pernah tampak oleh mata?
Buka Kembali “Kran” Pluralisme
Gegeran yang terjadi terkait isu SARA harusnya tidak terjadi di negara yang berbasis perbedaan ini. Negara ini tumbuh dari dinamika komprehensif multiras, multietnik, multiagama (bahkan dalam satu agama itu sendiri muncul firqoh-firqoh) dan berbagai tendensi multi yang luas dan beragam.

Pijakan-pijakan pluralisme juga telah digagas sejak era Sukarno. Kita akrab dengan suara lantang pidato Sukarno, “Kita ini berbeda-beda suku, berbeda-beda agama, berbeda-beda ras, berbeda etnik. Apa yang menyatukan itu semua saudara-saudara? Pancasila. Pancasila menyatukan negeri ini,” Demikian satu bait saja penggalan dari pidato Sukarno.
Secara objektif pasca Sukarno, perbincangan tentang pluralisme di Indonesia tidak bisa kita pisahkan dari keberadaan sosok Abdurrahman Wahid yang telah wafat akhir 2009 lalu. Bahasa Gus Dur yang lugas sering menjadi rujukan menjelaskan terkait perdamaian dan pembelaan minoritas, seperti ucapan Gus-Dur (panggilan akrab Abdurrahman Wahid) yang ditampilkan di Quote Gusdur.net:
Saya tidak khawatir dengan dominasi minoritas. Itu lahir karena kita yang sering merasa minder. Umat Islam mungkin karena faktor masa lalu sering dihantui rasa kekalahan dan kelemahan.
Dalam berbagai tulisan, Gus Dur sering memunculkan dua kata yang berulang sebagai kata kunci, yakni pluralisme dan pembelaan. Pikiran itu tercurahkan oleh Gus Dur dengan empati dan kepekaannya pada pihak-pihak yang menjadikorban, khususnya minoritas, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, dan posisi sosial.
“Tuhan tidak perlu dibela” kata Gus Dur mengkritisi intoleransi beragama. Pikiran-pikiran Gus Dur mencerahkan kekeringan kita pada padang gersang dunia yang kini dipenuhi oleh berbagai tindakan kekerasan, teror, penindasan, intoleransi, bahkan berbagai peperangan yang tidak kunjung usai. Ini senada dengan Wimar Witoelar yang mengatakan bahwa Gus Dur bukan hanya Bapak Pluralisme Indonesia, melainkan juga sudah menjadi Bapak Pluralisme Dunia., apalagi dunia saat ini sedang kehilangan tokoh–tokoh pluralisme dan sebaliknya didominasi oleh tokoh yang bersikap eksklusif.
Di samping Gus Dur, rasanya diskusi pluralisme tidak afdhal tanpa kehadiran pemikir-pemikir pluralisme nasional lainnya seperti Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Ma’arif, dan Ahmad Wahib. Mereka adalah para pemikir neomodernis Islam dengan berbagai artikularis pluralis yang beragam.
Dari segi pemikiran, Djohan memang memiliki kedekatan dengan “Gus Dur”. Keduanya “bermazhab” kulturalis dan sama-sama penganjur inkusifisme beragama. Sedangkan ijtihad Nurcholish Madjid adalah berupaya mengelaborasi dan memaknai pesan-pesan ketuhanan yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi. Dalam banyak kesempatan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) menegaskan bahwa al-Quran merupakan pesan (washaya) dan nashihah Tuhan (Allah). Berbicara pesan Tuhan, maka, selain al-Quran, kita mengenal Kitab-kitab Suci (Zabur, Taurat, Injil dan al-Quran) yang diturunkan Allah kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad saw, Sang Khatam al-Rusul wa al-Anbiya. Dan Rasulullah mengenalkan jumlah Nabi sebanyak 124.000, diantaranya 313 merupakan rasul. (HR. Ahmad). Sementara Ahmad Syafii Ma’arif lebih menekankan pembelaan akan pentingnya pemahaman pluralisme diterapkan sebagai buah dari kemajmukan berbangsa.
Pokok-pokok pikiran itu warisan paling berharga yang harus kita ugemi (dipegang teguh). Dalam konteks kerushan yang terjadi, jangan hanya masyarakat yang terlibat yang disalahkan, tetapi itu tanggungjawab kita semua. Pemerintah dan para akademisi sudah seharusnya menjadi fasilitator pencerahan dengan membuka keran dialog-dialog yang berkelanjutan. Sebab rasa-rasanya kita tidak mungkin lagi melangkah mundur dengan menampilkan beragam perbedaan ini dalam wajah sangar, buas, penuh kedengkian, amarah dan beragam tendensi ketidak percayaan diri yang melahirkan pelegalan anarkis di otak dan perilaku kita. Ini bukan di era perang, karenanya harmoni dan perdamaian dunia mutlak harus kita mulai dari pertiwi ini. Bukankah itu mimpi surga yang selama ini kita cari?
Leave a Reply