Sebagai salah satu kabupaten yang memiliki nuansa sejarah perjuangan penyebaran agama Islam, Kabupaten Pasuruan memiliki banyak tempat religi dan pondok pesantren. Salah satu tempat wisata religi yang cukup masyhur ialah makam Kiai Hamid. Kiai Hamid adalah tokoh panutan yang lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai Umar, adalah seorang ulama di Lasem, dan Ibunya adalah anak dari Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem, Jawa Tengah.
Makam Kiai Hamid berada tepat di belakang masjid Agung Al Munawwar, Pasuruan. Letak makam yang tepat di pusat kota Pasuruan mempermudah akses untuk menuju kesana. Meskipun makam Kiai Hamid tidak termasuk makam dari golongan Walisongo atau makam-makam kuno yang dikeramatkan lainnya, namun karisma dan keistimewaan dari almarhum Kiai Hamid senantiasa mengundang banyak pengunjung untuk berziarah.
Dari areal parkir yang disediakan di sekitar masjid Agung, untuk menuju ke makam dapat melewati gang-gang kecil yang berada di samping masjid. Saat melewati gang-gang kecil tersebut, terdapat deretan para pengemis dan kios-kios souvenir yang menjual benda-benda yang berkaitan dengan dunia Islam. Ada pula yang menjual souvenir yang di dalamnya terdapat foto Kiai Hamid semasa hidup.
Menurut Karyadi, salah satu penjual souvenir yang ada di sekitar makam menuturkan bahwa selama ini ia mengais rezeki dari keberadaan makam Kiai Hamid. “Saya sudah berjualan disini sekitar 11 tahun. Alhamdulillah, meski mbah Hamid sudah kapundut, tetapi masih membukakan pintu rezeki bagi saya dan teman-teman yang lain,” ujar Karyadi. Tak dapat dipungkiri jika keberadaan makam Kiai Hamid memberikan jalan bagi warga sekitar untuk mendapatkan rezeki.
Hal yang menarik dari makam Kiai Hamid adalah jika di makam-makam wali atau ulama lain ada kecenderungan para juru kunci atau petugas makam memungut sedekah dari pengunjung, di makam ini justru hal seperti itu dilarang. Hal tersebut dapat dilihat pada sebuah papan yang terpasang di kotak amal berisi peringatan yang mengatakan bahwa haram hukumnya bagi pengunjung untuk memberi uang kepada petugas makam.
Sampai di kompleks pemakaman, peziarah akan menemui beberapa makam dari para kerabat dan keluarga Kiai Hamid. Makam Kiai Hamid berada di ruangan yang tidak terlalu luas dengan batu nisan berwarna kuning emas dan terdapat pagar besi kecil yang mengitarinya. Ruangan antara peziarah pria dan wanita dipisahkan oleh sebuah dinding tembok. Gaya arsitektur makam yang masih klasik seolah mengajak para peziarah untuk bernostalgia pada masa-masa perjuangan Kiai Hamid dahulu.
Sebagaimana cerita warga di sekitar makam, Kiai Hamid digambarkan sebagai sosok yang penuh pengetahuan dan bijaksana dalam setiap perilaku keseharian. Sejak kecil, Kiai Hamid sudah mulai melatih akal dan pengetahuannya untuk menjadi seorang alim ulama. Beliau mula-mula belajar membaca Al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarkan ilmu fiqih dasar. Setelah itu, beliau menimba ilmu di Pesantren di daerah Talangsari, Jember, Jawa Timur.
Sewaktu muda, beliau terkenal sebagai sosok yang keras dan tanpa kompromi. Beliau seringkali memberikan sanggahan atau bantahan keras terhadap orang-orang yang memberikan fatwa baru dan menyimpang dari kaidah Al-Qur’an dan Hadits. Dalam berbagai kesempatan, beliau menunjukkan sikap keras dan tegas terhadap berbagai penyimpangan aqidah dan ketidaksetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbeda dengan masa mudanya, ketika tua beliau lebih dikenal dengan sikap sabar yang senantiasa melekat dalam setiap menghadapi kondisi dan permasalahan yang dihadapinya. Kesabaran yang beliau miliki tak jarang menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat dan orang yang pernah mengenalnya. Selain dikenal sebagai sosok yang penyabar, beliau juga terkenal sebagai tokoh yang penuh dedikasi dan pengabdian terhadap umat.
Alkisah, pada suatu hari salah satu santrinya pernah melaksanakan suatu kesalahan yang tergolong berat. Peraturan pesantren mengharuskan santri tersebut dihukum dengan dikeluarkan dari pesantren. Namun, karena kesabaran dan kearifan yang dimiliki oleh Kiai Hamid akhirnya santri tersebut tidak dikeluarkan dari pesantren. Kemurahan hati beliau tersebut banyak mengundang gunjingan dari para pengurus dan santri lainnya. Namun, akhirnya santri yang mendapatkan kemurahan hati dari Kiai Hamid tersebut tumbuh sebagai salah seorang santri yang paling pintar.
Menurut Suwarno, ta’mir Masjid Jami’ Pasuruan, makam Kiai Hamid semakin hari semakin banyak dikunjungi oleh peziarah. Para peziarah yang datang tidak hanya berasal dari Pasuruan, namun banyak peziarah dari luar kota bahkan luar pulau yang sekedar berziarah untuk bertawassul kepada Allah. Suwarno kemudian menuturkan bahwa kondisi makam yang banyak dikunjungi peziarah kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selama ini pengelolaan dan penanganan makam dilakukan oleh panitia dan pengurus Masjid Jami’. Suwarno mengharapkan pemerintah memberikan perhatian lebih kepada keberadaan makam Kiai Hamid.
Miris memang jika melihat pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Pasuruan yang begitu dahsyat ternyata malah melupakan keberadaan salah satu pejuangnya. Seorang pejuang yang telah memberikan begitu banyak jasa yang bisa dinikmati hingga sampai saat ini. Meski begitu, keberadaan makam Kiai Hamid bukan sekedar salah satu makam alim ulama yang ada di Kabupaten Pasuruan. Lebih dari itu, makam Kiai Hamid adalah penunjuk simbol identitas bagi warga Kabupaten Pasuruan untuk senantiasa belajar dan memperbaiki perilaku hidup keseharian yang lebih baik.
*Tulisan telah disebarluaskan lewat News Letter Sekolah Demokrasi Pasuruan 2014
Leave a Reply