Alkisah. Ketika bumi masih dihuni oleh sedikit manusia, belum ada aturan yang membatasi siapa pun untuk memiliki hak atas tanah. Satu-satunya aturan yang ada, hanyalah dengan merentangkan seutas tali. Siapa yang bisa menandai tanah dengan tali, dialah pemilik tanah tersebut. Semakin panjang dan semakin luas dia membentangkan tali, maka semakin luas pula tanah yang dimilikinya.
Zaid, yang saat itu mulai menyadari pentingnya tanah, lalu membentangkan tali, menandai bahwa itu tanah miliknya. Semula ia merasa cukuplah baginya tanah seluas beberapa puluh meter saja. Tetapi kemudian ia berfikir bahwa kesempatan memiliki tanah dengan semudah itu, mungkin besok sudah tidak ada lagi, karena sudah ditandai oleh orang lain. Maka ia pun berjalan lagi dengan membentangkan tali yang lebih luas. Ketika beristirahat sambil memandangi tanah yang ia telah tandai, pikiran itu muncul lagi.
Zaid pun mulai menandai lagi tanah dalam jangkauan yang lebih luas. Karena khawatir akan kedahuluan orang lain, maka Zaid pun mulai mempercepat langkah, agar ia segera menguasai tanah dalam jumlah yang lebih luas. Sampai kemudian ia pun berlari, dan terus berlari sekencang-kencangnya. Kini sudah tak terhitung lagi berapa luas tanah yang telah ia tandai. Tetapi, ketika hendak menyudahi langkahnya, selalu pikiran itu muncul lagi. Ia khawatir bila kesempatan emas seperti ini, tak bakal ia temukan lagi. Maka ia pun terus berlari, berlari dan berlari. Sampai akhirnya pada titik tertentu ia kehabisan napas. Ia mati. Dan untuk penguburannya, Zaid hanya membutuhkan tanah tak lebih dua meter persegi saja.
Kisah Zaid, boleh jadi memang fiksi belaka. Tetapi kisah keserakahan manusia—yang tersirat dalam cerita di atas—bukanlah sesuatu yang imajiner. Ia adalah pengalaman riil kehidupan manusia, sejak dulu sampai sekarang. Baik di dunia Arab maupun di Jember. Di Jakarta maupun di Banyuwangi. Manusia memperebutkan tanah, dan apa saja yang ada di atasnya. Tak peduli jika untuk itu mereka harus mempertaruhkan nyawa dan harga diri.
Padahal tanah (ardl) yang disebut sebanyak 462 kali dalam al-Qur’an, sebagian besar (454 kali) berupa kata benda, dan hanya 8 kali dihubungkan dengan kata ganti yang menyatakan kepunyaan. Apa makna di balik ini? Menurut Hassan Hanafi, ini menegaskan prinsip bahwa tanah bukanlah obyek pemilikan. Manusia lahir di bumi dan meninggal di bumi. Bumi ada sebelum manusia, dan tetap ada sesudahnya. Manusia tidak bisa memiliki bumi. Ia datang tanpa sesuatu dan pergi tanpa sesuatu. Yang bisa dimilikinya hanyalah perbuatannya. Tuhan adalah satu-satunya pewaris tanah yang mutlak.
Tak seorang pun—kata Hassan hanafi—bisa menuntut bahwa tanah adalah miliknya. Semangat yang dibawa al-Qur’an sendiri, menurut Hanafi, adalah apa yang dua belas abad kemudian digaungkan oleh Rousseau atau Prudhon: “Orang pertama yang meletakkan tangannya pada sebidang tanah dan mengatakan, ‘ini milikku’, adalah pencuri pertama!” (Miftahuddin)
Leave a Reply