Dengan sedikit jongkok Mbah Hanafi bersusah payah meraih kembali kopiah hitamnya dari sela-sela sendal para pentakziyah. Kopiah hitam beludru itu di beberapa sisi sudah lusuh dan timbul warna keemasan terutama di ujung atas depan yang sedikit lancip.
Setelah mengibas-ngibaskan kopiahnya agar debu yang menempel rontok,serta merapikan rambut putihnya yang sedikit berkeringat, Mbah Hanafi melesakkan kopiah itu hingga sebagian besar kepalanya tertutup. Belum selesai meletakkan posisi kopiahnya yang belum sepenuhnya rapi, lelaki berumur 70an tahun itu kembali terdesak dan terhimpit. Tubuhnya yang kurus sedikit oleng kekiri kemudian ke kanan. Beruntung ada seorang polisi yang mengetahui keadaan itu, dengan sigap pak polisi itu merangkul tubuh pak Hanafi menjauh dari kerumunan dan gerombolan para pentakziah itu.
Posisi lelaki tua itu kini persis berada di bibir selokan. Dari posisinya sekarang, yang berjarak 2 meter sebelah selatan jembatan yang menjadi titik berkerumunnya ribuan orang, ia terbebas dari himpitan dan dorongan para pentakziah lainnya. Mereka, para pentakziah itu berharap bisa memasuki pintu gerbang yang pada hari ini hanya dapat dimasuki kalangan tertentu saja. Bahkan, beberapa bupati dan Wali Kota dari beberapa kabupaten dan kota di Jawa Timur maupun para Kyai tenar tidak dapat memasuki pintu gerbang itu.
Pada jam sekarang ini, hingga beberapa jam ke depan, pintu gerbang itu hanya dapat dimasuki oleh wajah-wajah terkenal negeri ini. Padahal, pada hari-hari biasa, siapapun, dari si mbok penjual nasi bungkus, para santri hingga anggota DPR yang datang menjelang pemilu bebas keluar masuk pintu gerbang itu. Sekarang, paspampres dengan senjata lengkap dan kacamata hitam dan beberapa gadget canggih yang menempel di telinga dan mulut siap memeriksa siapapun yang melewati pintu gerbang itu.
Mbah Hanafi sedikit terhentak ketika suara sirine melengking memekakkan telinganya, suara itu berasal dari sebuah mobil paspampres yang menyeruak kerumunan masa tidak jauh darinya. Rupanya, rombongan yang sedari tadi ditunggu itu telah tiba. Mobil presiden kemudian masuk diikuti oleh mobil para menteri, gubernur, dan beberapa pejabat kedutaan asing.
Dari tempatnya berdiri sekarang, mbah Hanafi tiba-tiba mengangkat tangannya dan berusaha tersenyum ketika secara tidak sengaja ia melihat sesosok wajah yang pernah ia kenal berada di balik kaca mobil mewah yang terbuka separuh.
Ia yakin sosok itu adalah temannya yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa dengannya. Namun, sebelum tangannya terangkat penuh dan sunggingan senyumnya mengembang, ia menarik lagi tangannya yang mulai terangkat sekaligus kembali menutup bibirnya yang mulai mengembang.
Sembari membuka kopiahnya sebantar dan mengusap sedikit peluh yang menetes di pipinya, pandangan matanya mengikuti mobil hitam mewah itu yang memasuki pintu gerbang dengan mudah. Beberapa orang yang berkerumun di depan pintu gerbang itu memanfaatkan keadaan berebut ikut memasuki pintu gerbang itu. Pihak keamanan tak bisa berbuat banyak melihat keadaan itu. Namun, tak berapa lama, pintu gerbang itu tertutup kembali.
Mbah Hanafi yang sudah berusia senja itu hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Ia sadar betul bahwa lelaki di mobil yang seumuran dengannya itu adalah teman sekamarnya ketika 50 tahunan yang lalu ia bersama-samanya menimba ilmu di pesantren yang dulu diasuh Mbah Hasyim itu.
Mbah Hanafi sadar, kalau memang orang itu adalah temannya, orang yang sekarang menjadi kyai terkenal itu sudah pasti lupa dan tak mengenalnya lagi.
Akhirnya, Mbah Hanafi memutuskan berjalan ke selatan menuju ke pasar Cukir menjauh dari kerumunan masa yang terkonsentrasi di depan pintu gerbang utama komplek pesantren itu. Ia berencana dalam hati, setelah rombongan presiden selesai memimpin upacara pemakaman Gus Dur, ia berharap dapat berdoa, Yaasinan, dan Tahlilan, di depan makam Gus Dur dan sekaligus mengenang masa-masa 50 tahunan yang lalu ketika ia masih berusia belasan tahun mondok di pesantern itu.
Mbah Hanafi masuk ke sebuah warung sederhana yang disesaki para pentakziah. Beruntung ia masih menemukan kursi kosong di pojok dekat pintu menghapap ke barat ke arah jalan raya Jombang-Malang.
Setelah kopi panas dihidangkan pelayan kehadapannya, ia mengeluarkan sebungkus Gudang Garam klobot dari saku baju lengan pendeknya. Ia seduh sebentar kopi itu, tapi ia sepertinya tidak mau kehilangan sensasi rasa panas dan harumnya kopi itu sehingga dengan segera kopi itu diminumnya.
Di warung yang tidak begitu luas dan hanya mampu menampung belasan pengunjung itu, mereka asik membicarakan kisah hidup Gus Dur dari yang sederhana, serius, hingga hal-hal yang lucu. Begitu asyiknya mereka berbicara tentang Gus Dur membuat mereka hampir lupa bahwa mereka datang ke Tebuireng saat itu untuk bertakziah ke makam presiden RI ke 4 itu.
Sambil menikmati Gudang Garam Klobot yang berbau khas itu, Mbah Hanafi ikut mendengarkan pembicaraan orang-orang itu. Hati Mbah Hanafi seperti teriris mendengar kisah-kisah tentang Gus Dur itu. Dalam hatinya, Mbah Hanafi berpikir sepertinya akan sulit mencari generasi NU yang dalam perjuangannya sangat ikhlas seperti Gus Dur. Mbah Hanafi masih ingat betul, menurut analisisnya, karena keikhlasannya itulah Gus Dur tidak pernah ragu untuk mengatakan yang buruk adalah buruk dan yang benar adalah benar.
Dan, karena keikhlasannya itulah maka Gus Dur harus rela turun dari kursi kepresidenan. Kalau Gus Dur tidak ikhlas tentunya ia akan mati-matian menuruti kemauan orang-orang yang menentangnya agar kursinya sebagai presiden aman. Tapi dasar Gus Dur, Mbah Hanafi kemudian tersenyum kecut, ia akan melawan orang-orang yang menurutnya tidak benar meski taruhannya kursi presidennya harus hilang.
Ketika hatinya melamun dan asik menikmati kopi dan rokok klobotnya, Mbah Hanafi dikejutkan oleh sapaan empat orang yang masuk ke warung melewati pintu di sampingnya.
“Mbah Hanafi, Assalamu’alaikum…” ucap keempat orang itu hampir bersamaan.
Setelah mengucapkan salam, keempat orang itu bergantian satu per satu mencium tangan Mbah Hanafi sembari membungkukkan badan. Setelah menjawab salam dari keempat pengunjung warung itu, Pak Hanafi tersenyum dan mempersilahkan ke-empat orang itu duduk.
Mendengar ada yang menyebut nama “Mbah Hanafi”, dan melihat empat orang itu mencium tangan dan menunduk di hadapan orang tua yang berpenampilan sederhana itu, hampir semua pengunjung di warung itu sontak berdiri dan berebut untuk mencium tangan orang yang sedari tadi mereka cuekin itu. Mbah Hanafi dengan sabar melayani orang-orang di warung itu yang ingin bersalaman dengannya.
Beberapa pengunjung warung itu bahkan ada yang berujar,
“Maaf mbah, kami tidak tahu kalau panjenengan adalah Mbah Hanafi”
Kembali Mbah Hanafi yang berpenampilan sederhana itu hanya tersenyum mendengarnya, membuat orang yang meminta maaf tersebut tersipu malu.
Mengetahui orang-orang di sekelilingnya ada yang mengenalinya, Mbah Hanafi buru-buru pamit, ia pamit bahwa ia belum takziah ke Makam Gus Dur. Orang-orang di warung itu hanya menunduk dan berusaha bersalaman kembali setelah kemudian memandangi tubuh tua Mbah Hanafi menghilangan di tengah kerumunan para pentakziah.
Suasana di warung itu menjadi riuh rendah setelah Mbah Hanafi pergi, rupanya mereka tidak menyangka akan bertemu dengan Mbah Hanafi yang dikenal sangat dekat dengan almarhum Gus Dur itu.
Yah, Mbah Hanafi adalah termasuk kyai yang langka seperti Gus Dur. Kelangkaan kyai ini adalah dari kebersahajaannya dan kesederhaaannya. Dari hal-hal kecil saja seperti cara berpakainnya yang seperti masyarakat kebanyakan, membuat tetangga dan orang-orang di sekitarnya merasa setara bila duduk bersanding dengannya. Mbah Hanafi sehari-hari lebih suka memakai baju berlengan pendek dan bersarung tenun biasa, dan bukan mengenakan sarung tenun sutra Samarinda yang mahal itu. Ia juga hampir-hampir tidak pernah memakai kopiah putih, kecuali ketika ia pulang dari haji 30 tahun yang lalu.
Kesederhanaan Mbah Hanafi juga dapat dilihat dari ketidakmauannya untuk mendirikan pesantren. Ia tidak mau mendirikan pesantren dengan alasan sudah ada pesantren di kampung sebelah yang lengkap dengan semua jenjang sekolah hingga sekolah tinggi. Ia juga beralasan bahwa berjuang menegakkan syari’at agama Islam tidak harus dengan mendirikan pesantren.
Baginya, mengisi pengajian rutin untuk orang-orang kampung setiap malam sabtu di masjid peninggalan kakek buyutnya adalah tugas yang dianggapnya sudah sangat berharga. Selain itu, setiap pagi setelah salat subuh sebelum berangkat ke sawah, ia membacakan tafsir Jalalain, Fathul Barry setelah sholat Ashar, dan Ibnu Katsir setelah sholat Maghrib. Mereka yang mengikuti pengajian kitab kuning ini adalah para santri senior dari pesantren di kampung sebelah dan santri kalong dari desa-desa tetangga.
Sering beberapa orang merasa kecele ketika berkunjung ke rumah Mbah Hanafi dan berniat menitipkan anaknya untuk mondok di rumahnya, tapi tenyata Mbah Hanafi menolaknya dengan sopan. Dengan halus biasanya Mbah Hanafi menjelaskan dan menyarankan agar para tamu itu mengirimkan putra-putrinya ke Pesantren Mamba’ul ‘Ulum yang diasuh oleh putra sahabatnya Kyai Hannan di desa Kelampis Rejo.
Untuk mencukupi kebutuhan dapurnya, Mbah Hanafi bercocok tanam di atas tanah yang luasnya hanya setengah hektar. Seperempat dari tanahnya itu ia pakai untuk mendirikan kandang ayam petelur dan pedaging. Beberapa santri kampung dan beberapa santri senior dari pesantren sahabatnya yang berada di kampung sebelah biasanya datang setiap pagi dan sore untuk mengurusi ladang dan kandang ayam milik Mbah Hanafi. Ketika sudah panen, biasanya Mbah Hanafi memberi para santri itu separuh dari laba yang diterima dari hasil panen ladang maupun ayam-ayamnya.
Satu lagi yang mungkin jarang ditemui dari sikap Mbah Hanafi adalah kebiasaannya menolak uang atau amplop yang disodorkan kepadanya ketika ia mengisi pengajian di kampung-kampung atau ketika ia selesai memberikan hutbah nikah pada acara “walimatul ars” di beberapa kampung di desanya. Begitu pula ketika ada tamu, ia dengan halus menjelaskan agar uang itu disodaqohkan saja kepada anak yatim atau orang-orang yang lebih membutuhkan.
Karena upacara resmi pemakaman Gus Dur sudah selesai 2 jam yang lalu, maka Mbah Hanafi dapat dengan mudah masuk dan berjalan menuju ke makam Gus Dur. Setelah berbaur dengan ribuan orang yang mengaji di depan makam Gus Dur dan makam Kyai hasyim dan Kyai Wahid, Mbah Hanafi kemudian berjalan menju Masjid yang tidak jauh dari komplek pemakam bani Hasyim itu.
Baru beberapa langkah masuk ke dalam masjid beberapa santri yang sudah menunggunya untuk sholat Ashar berjamaah di masjid di depan rumahnya di sebuah desa kecil di kaki gunung Sumbing itu berebut bersalaman dan mencium tangannya. Sudah menjadi kebiasaan para santri di situ bersalaman sekaligus member jalan ketika kyai Hanafi berjalan ke “pengimaman” maupun ketika kyai sepuh itu berjalan ke luar setelah sholat berjama’ah.
Ya, tak tahu bagaimana kisahnya tiba-tiba saja Mbah Hanafi memasuki masjid di pesantrennya sendiri ketika seper sekian detik sebelumnya ia melangkahkan kakinya memasuki masjid di Pesantren Tebuireng. Sekarang, ia menapakkan telapak kakinya yang sudah keriput itu di lantai masjid tua di depan rumahnya sendiri yang sederhana di Desa Kedung Galar, Kecamatan Kalijajar, Kabupaten Wonosobo. Sambil berjalan pelan ia menyunggingkan senyum yang menentramkan pada para santri yang dengan sabar menunggu giliran mencium tangannya.
Wallahualam!
syamhadi says
jiwa seperti mbah Hanafi itulah yg patut kita contoh untuk semua, dari pejabat tinggi dan masyarakat entah semua orang gak ada yg nerima apa adanya