Mirip Mitos-Legenda, Tapi Asli dan Nyata
Komplit sudah pencarian soal bagaimana sosok Panglima Besar sekaligus pemimpin politik di era Majapahit. Siapa lagi kalau bukan Mahapatih Gajah Mada yang tersohor itu. Empat buku karangan Langit Kresna Hariadi (LKH) mampu menggambarkan sosok bertubuh gempal itu dengan nyaris sempurna.
Ya, penulis memang sangat terobsesi untuk mengkonstruksi sejarah kejayaan nusantara. Sebab, sejarah acap kali dianggap sebagai pijakan yang-kurang-berguna. Kecuali untuk para pemerhati yang serius dengan Sejarah itu sendiri. Sulit untuk dihapalkan, diingat, dan didiskusikan dari mulut ke mulut.
Namun, yakin dengan full yakin. Bagi peminat sejarah, tata negara, pemerintahan, ahli strategi, ahli perang, ahli adu taktik intelijen, percintaan, sampai intrik alias tukang tlikung, buku ini sangat asyik untuk dibaca. Tidak membosankan.
Melalui buku pertama “Gajahmada” terbitan Tiga Serangkai pada 2004, LKH mampu mengkonstruksi dokumen sejarah (dari berupa prasasti, red) menjadi sebuah narasi yang eksploratif. Hasilnya, wow. Fantastis. Pembaca pasti sangat menikmati setiap adegan yang disajikan. Lima puluh babak yang ada di buku tersebut pasti membuat pembaca tidak bisa berhenti untuk membaca.
Buku setebal 521 halaman tersebut berkisah tentang pemberontakan Rakrian Dharmaputra Winehsuka di bawah kendali Ra Kuti. Mereka adalah para bangsawan yang dianugerahi gelar oleh Raja Majapahit ke-2 Jayanegara alias Kalagemet karena berjasa kepada negara dan bangsa. Ra Kuti cs dihadiahi wilayah Terik-Krian, yang kini dikenal dengan Kecamatan Tarik dan Krian di Sidoarjo.
Alkisah, setelah menjadi penguasa kecil di sana, Ra Kuti cs membangun kekuatan di kota sebelah barat Sidoarjo itu. Mereka melatih dan mengobral janji kepada pasukannya dengan iming-iming menggiurkan. Karir dan kesejahteraan yang moncer.
Bahkan, Ra Kuti mampu menggeret satu dari tiga kesatuan prajurit yang dimiliki Majapahit untuk ikut membelot. Kesatuan dari Jala Rananggana pimpinan Temenggung Pujut Luntar lah yang terang-terangan mengakui ikut Ra Kuti. Itu setelah diselidiki dengan waktu sangat singkat oleh Bekel Gajah Mada.
Bekel merupakan pangkat keprajuritan yang rendah saat itu. Kira-kira kalau di jaman sekarang setingkat perwira pertama (pama). Mentok paling tinggi ya cuma balok tiga alias kapten. Saya tidak menemukan keterangan pasti soal pangkat bekel itu. Lalu masih ada dua kesatuan lain, Jalapati di bawah Temenggung Banyak Sora dan Jalayuda di bawah Temenggung Panji Watang yang perlu diselidiki lebih mendalam.
Singkat cerita, Majapahit hanya tinggal punya dua kesatuan yang loyal: satu kesatuan Jalapati dan satu pasukan khusus (demikian penulis buku menyebut, red) Bhayangkara (setara dengan Paspamres-Tjakrabhirawa atau bahkan Kopassus di jaman sekarang). Sedangkan sikap kesatuan Jalayuda tampak ambigu bak memancing di air keruh. Ingin memanfaatkan keadaan dan melibas pemenang pertempuran antara Majapahit dan pembelot.
Walhasil, dikisahkan pasukan dua kesatuan yang dimiliki Majapahit sukses bertahan bahkan menandingi tiga pasukan pembelot. Meski sempat terjadi perundingan diantara pasukan pembelot dengan patriot Majapahit. Itu setelah perang diambil alih oleh Jalayuda yang ambigu di bawah Panji Watang.
Namun, Ra Kuti licik. Ra Kuti mendompleng pasukan Jalayuda dan membunuh Panji Watang saat berunding dengan pasukan patriot. Panji Watang dipanah dari jauh dan mati. Ra Kuti mengambil alih pasukan dan bertempur habis-habisan.
Hingga akhirnya, para patriot yang setia di bawah Kalagemet di dalam istana terjepit di dalam kamar sang raja. Namun, toh akhirnya Kalagemet, Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah, mampu lolos dari maut setelah lewat lorong rahasia istana. Tentu dalam kawalan pasukan khusus Bhayangkara.
Nah, di sinilah aksi-aksi heroik dan adu taktik strategi-intelijen-perang dimulai. Bagaimana tidak. Pasukan se-elit Bhayangkara disusupi dua mata-mata Ra Kuti. Jelas saja, kemanapun pelarian para pesakitan itu bisa diendus. Namun, bukan Gajah Mada namanya kalau mudah ditangkap begitu saja. Bahkan, satu dari dua mata-mata itu berhasil dibunuh saat masih berada dalam lorong pelarian.
Lalu, prajurit gempal itu membagi belasan prajurit Bhayangkara menjadi dua tim. Motifnya, pertama untuk mengamankan nyawa sang raja. Kedua adalah untuk mengidentifikasi satu mata-mata yang belum terlacak itu.
Mereka lalu membuat kesepakatan untuk bertemu di suatu tempat dalam beberapa hari. Ya, maklum. Kondisi genting dengan medan geografis yang berat tanpa alat komunikasi yang serbacanggih cukup merepotkan. Tidak seperti sekarang dengan radio panggil, radar, Global Positioning System (GPS) atau bahkan facebook yang memudahkan komunikasi. Pokoknya, serbaruwet. Salah hitungan sedikit, nyawa bisa melayang. Apalagi yang dikawal adalah sang raja yang diburu bak anak ayam kehilangan induknya.
Sampai akhirnya, beberapa saat, Gajah Mada berhasil menitipkan Kalagemet ke tempat yang-cukup-aman. Setidaknya untuk beberapa saat. Namun, toh, berkat mata-mata itu bocor juga. Ra Kuti sendiri menggempur tempat persembunyian itu.
Nah, ini yang sangat berkesesan bagi saya. Gajah Mada hanya berdua dengan Kalagemet terjebak di satu ladang jagung, Ra Kuti pun tidak mampu menggelandang dua buruan itu. Gajah Mada dan Kalagemet sampai dikira punya ilmu menghilang di suatu malam yang dingin itu.
Padahal, keduanya menenggelamkan diri di tanah ladang yang lumayan berlumpur karena sedang musim hujan. Hanya menyisakan hidung mereka di permukaan tanah. Sementara, ulah para pembelot yang menebas jerami jagung untuk meluaskan pandangan memudahkan penyamaran tersebut. Tubuh dua pelarian itu malah tertutup oleh tebasan jerami-jerami jagung tersebut. Dan para pembelot sangat kecewa. Amat sangat kecewa.
Namun, bukan berarti buku pertama cerita Gajah Mada karangan LKH ini tidak ada kesalahan. Bahkan saya kira kesalahan itu sangat fatal. Dan itu diakui oleh LKH di buku kedua “Gajah Mada Bergelut dalam Tahta dan Angkara” terbitan Tiga Serangkai 2006. Jangka waktu pemberontakan itu dia tulis selama tak lebih dari sepasaran atau sekitar sepekan.
Padahal, fakta sejarah melalui prasasti-prasasti yang ada-saya tidak paham betul namanya-menyebut pemberontakan itu terjadi selama kurun sembilan tahun sejak 1319. Hingga pada 1328 Kalagemet mangkat.
Namun, itu tidak mengurangi ketakjuban saya atas fantasi dan rekonstruksi semi-fiktif tokoh dan karakter yang ada. Saya rekomendasi kepada Anda pecinta sejarah Nusantara, baca buku ini! (*)
surahman says
saya sudah baca yg ke-1 tahun 2008 tp smp sekarang yg ke-2 dst belum baca..hehehe maklum lagi dines di papua.. pean punya mas? ringkesin dong critanya. saya sependapat dg anda..novel ini ruarrrr biasa.. jujur walau saya seorang prajurit yg pangkatnya selevel Bekel Gajah Mada (menurut anda), tapi kadang harus saya baca lebih dari sekali untuk memahami taktik yg diterapkan kakang Bekel. kadang malah ga nemu jawabannya sampe terjawab di cerita berikutnya.. LKH memang TOP. trims refreshnya mas.
vinaridha says
mantap…
pret says
Bagian kedua mana
neneng hasanah says
sejarah adalah salahsatu pelajaran favorit saya dulu dan baca novel juga jd hiburan buat saya, nah pas ketemu dua-duanya dalam satu buku saya sukaaaa banget sampe tenggelam dalam imajinasi. menurut saya kalo perfilman kita sudah menjadi industri dan visual efeknya sudah seperti di hollywood. saya jadi penasaran ada gak sutradara yg berani mengambil tantangan untuk memvisualkan novel ini….yang pasti saya adalah orang pertama yg beli tiket bioskop.
Zarkasi Laros says
sip. semoga ada investor yang mau seperti itu.
Restu Singgih says
sudah terbit buku gajah mada yg ke-5 jadi gak tetralogi lagi mas… dah jd pentalogi gajah mada… salut dech utk pak langit…