Judul: Politik Kiai, Polemik Keterlibatan Kiai dalam Politik Praktis
Penulis: Koirudin
Pengantar: Ulil Abshar-Abdalla
Penerbit: Averroes Press
Tahun: 2005
Tebal: 162
ISBN: 979399701X
Entitas kiai sebagai elit lokal dan pemimpin informal masyarakat muslim di pedesaan seringkali menjadi kajian menarik berkaitan dengan perilaku sosialnya. Kiai sebagai produk sosial dari masyarakat adalah ciri khas yang melambangkan simbol pemimpin sebuah komunitas terutama di daerah Jawa maupun sebagian luar Jawa. Kiai merupakan ciri khas Indonesia.
Kata ‘kiai’ sendiri dikenal bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Padanan yang biasa digunakan adalah ulama’, sekalipun kiai tidak selalu harus menunjuk sebagai ulama’. Kata kiai dalam bahasa Jawa sendiri memiliki makna yang kompleks dan berbeda satu dengan lainnya. Misalnya, kata ‘kiai’ juga bisa menunjuk kepada gelar kehormatan untuk benda-benda yang dikeramatkan.
Contoh, “Kiai Garuda Kencana” adalah sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Selain untuk benda, kiai juga menunjuk kepada laki-laki lanjut usia, arif dan dihormati di sebuah komunitas dalam masyarakat Jawa (Ziemek, 1996). Dalam konteks ini, kata kiai yang dimaksud menunjuk pada seorang ahli dalam bidang agama Islam, pendiri-pemilik-pemimpin pondok pesantren, sikap pribadi dan sosialnya alim serta mengabdikan ilmunya untuk kepentingan pendidikan Islam (Geertz, 1981; Horikosi, 1987; Koentjaraningrat, 1984).
Selain itu, kiai juga sering dekat pengertiannya dengan sosok yang kerap disebut sebagai ulama’ dari kelompok Islam tradisional (Dhofier, 1994). Dua yang terakhir inilah yang digunakan untuk menggambarkan figur kiai dalam buku ini.
Kiai dalam Panggung Politik
Berkaitan dengan keterlibatan kiai dalam dunia politik ini, sudah banyak studi-studi mutakhir yang membahasnya. Di antaranya sudah menyampaikan pesan adanya perubahan posisi kiai dalam masyarakat sekaligus apa yang menjadi pandangan politik mereka. Dari studi mereka bisa dimengerti semakin bergeser dan memudarnya peran kiai dalam masyarakat. Keberadaan mereka kurang populer dibandingkan elit-elit lokal lainnya.
Secara konseptual, kiai perlu dilihat sebagai pranata sosial. Dalam kajian sosiologis, entitas ‘kiai’ akan ditempatkan sebagai sebuah pranata atau lembaga sosial di masyarakat. Dengan demikian, kiai dalam perspektif sosiologis, harus diposisikan secara obyektif. Entitasnya tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang bahwa mereka adalah sebuah representasi moral dan religius dengan berbagai klaim kebenaran (truth claim) yang ada pada dirinya. Kiai, sama dengan pranata sosial lainnya, terkadang mengalami over-rated dan disfungsional atau bahkan penyimpangan.
Kiai itu memang repot. Jual ayam di-lokno uwong (dikritik orang). Masak ada kiai ngempit ayam ke pasar. Ada orang (bicara), masak kiai kok ngempit ayam. Lho, mau saya jual karena punyaku hanya ayam.
Kenapa kiai berpolitik dicerca? Karena, politik di Indonesia itu brengsek sekali. Politikusnya brengsek sekali. Kata Sayyidina Ali, orang yang masuk ke wilayah buruk akan tercemarkan, akan dikesankan sebagai buruk juga. Perilaku politik di Indonesia ini konyol sekali.
Seperti sampeyan melihat Kiai Warsun masuk ke gedung bioskop. Meskipun di sana mencari kawannya yang biasa menonton, orang akan menyangka bahwa (beliau) juga akan melihat di situ. Karena buruknya wajah perpolitikan di Indonesia, siapa yang terlibat di situ akan tercemar (KH Mustofa Bisri –Gus Mus)
Secara historis, keterlibatan kiai dalam politik dalam konteks nahdliyin akan mengingatkan kita kepada perdebatan yang terjadi seputar diktum Khittah NU 1926 dan gerakan kembali ke Khittah 1926 Pasca-Muktamar NU 1984 di Situbondo. Bergerak dari gerakan depolitisasi NU tersebut, paling tidak, kita akan berusaha untuk mengurai tipologi keterlibatan politik kiai beserta argumentasi-argumentasi yang melingkupi keterlibatan politik kiai tersebut.
Dengan mengungkapkan argumentasi atas keterlibatan politik kiai tersebut, setidaknya penulis bermaksud untuk melihat persoalan ini secara lebih obyektif, tidak melakukan generalisasi atas setiap bentuk keterlibatan politik para kiai serta ingin menyampaikan pendapat bahwa dalam keterlibatan politik ini, kendati dengan alasan yang dapat dibenarkan menurut syariat, memiliki etika-etika yang menjadi rambu-rambu agar para kiai-politik –sebut saja begitu– tidak terjerumus begitu jauh ke dalam kekotoran ranah politik.
Walaupun tidak menggunakan pandangan ekstrim, tetapi kepada mereka yang sudah sedikitnya bersinggungan dengan politik atau yang belum sama sekali, penulis tetap memiliki pandangan agar kita semua merefleksikan apa yang pernah disampaikan oleh KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sebuah mauizah khasanah. Kiai yang terlibat dalam politik praktis sekalipun memiliki niat baik-bersih akan menghadapi situasi seperti yang dikatakan Gus Mus, “betapa brengseknya politik di Indonesia”. Begitu kotornya politik di Indonesia sehingga sulit dibersihkan hanya dengan seperangkat niat dan teori untuk membuat politik Indonesia lebih bermoral dan mengarahkan orientasinya untuk kepentingan kesejahteraan secara luas.
Leave a Reply