Akhir bulan Desember hingga bulan Januari merupakan hari yang sibuk bagi warga nelayan di Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Karena pada saat ini mereka hendak menggelar perhelatan akbar; Tutup Layang. Sebagian masyarakat menyebut ritual itu sebagai Petik Laut. Pada saat inilah para nelayan mendarmakan sebagian rezeki mereka untuk dilarung ke laut, sebagai wujud bakti mereka kepada yang Maha Kuasa, sekaligus memohon perlindungan-Nya agar diberi keselamatan dalam mengarungi kehidupan.
Upacara Tutup Layang, bagi masyarakat Brondong tak ubahnya slametan bersih desa sebagaimana lazimnya diselenggarakan masyarakat Jawa. Di dalamnya mengandung unsur upacara, doa, dan juga pesta. Upacara dan doa diwujudkan dengan melarung sejumlah bahan-bahan pangan yang cukup berharga yang mereka miliki ke tengah laut sebagai wujud penghormatan dan pengabdian mereka kepada Yang Maha Kuasa.
Prosesi ini dilakukan dengan harapan agar mereka senantiasa diberi keselamatan hidup dan juga anugerah rezeki yang lebih banyak lagi di hari-hari mendatang. Dan lazimnya, seusai acara Tutup Layang, pada malam harinya akan diselenggarakan pula pertunjukan seni, seperti Tayub, Ludruk dan seringkali pula pentas musik dangdut. Singkatnya, Tutup Layang atau Petik Laut adalah pesta syukurannya para nelayan, orang-orang pantai, yang sehari-hari menghabiskan waktu mereka untuk mencari ikan di tengah laut.
Entah dari mana istilah Tutup Layang itu bermula. Namun menurut keterangan Kasmuli, Kepala Desa Brondong, layang itu nama jenis ikan yang banyak dijumpai di Brondong, khususnya pada bulan Desember hingga Januari. Nah, acara Tutup Layang biasanya diadakan ketika musim ikan Layang sudah habis, dan bersamaan dengan berakhirnya musim Baratan yang berarti datangnya musim badai dan gelombang di laut. “Sambil menunggu badai dan gelombang reda, nelayan di sini mengadakan Tutup Layang,” kata Kasmuli.
Dalam masyarakat tradisional, kehidupan nelayan memang berbeda dengan mata pencaharian bertani. Kalau ketergantungan petani terhadap alam merupakan bentuk ketergantungan aktif, dimana manusia masih dapat merekayasa (mengolah) alam dan mengambil manfaat darinya, maka hubungan antara alam (laut) dengan nelayan merupakan bentuk ketergantungan pasif, karena nelayan tidak bisa merekayasa laut untuk tidak bergelombang atau berbadai.
Tingginya ketergantungan terhadap alam inilah menjadikan masyarakat nelayan memiliki akar spiritualitas yang tinggi. Upacara-upacara semacam Petik Laut, Larung, Sesaji dan sebagainya, tidak lain adalah bentuk ungkapan permohonan terhadap Yang Maha Kuasa, agar mereka dijauhkan dari segala mara bahaya, terutama ketika mereka sedang berlayar di tengah laut.
Menurut Dwi Cahyono, dosen Universitas Negeri Malang, ritual para nelayan ini telah berlangsung sejak zaman prehistorik yang kental dengan nuansa animisme dan dinamisme. “Hal inilah mungkin yang menjadikan Petik Laut kemudian distigmakan sebagai sebuah perbuatan syirik oleh sejumlah agamawan,” ujarnya.
Di Brondong sendiri, stigmatisasi syirik terhadap petik laut saat ini masih cukup kuat. Hal ini misalnya diwakili oleh Anwar (24), seorang tokoh pemuda dari Paciran, Lamongan, yang juga santri di sebuah Pesantren Sunan Drajat di Lamongan. Ia mengatakan bahwa, yang tidak bisa ditolelir itu adalah bentuk-bentuk syiriknya itu. “Dulu dini sini masyarakat masih meletakkan sesajen, baik di laut maupun di bawah pohon besar sebelah sana itu. Untunglah, sejak adanya pondok pesantren di daerah ini kebiasaan-kebiasaan tersebut berangsur-angsur hilang,” ujarnya.
Tetapi ungkapan ini segera dibantah Yanto (55), Ketua Rukun Nelayan Desa Brondong. Menurutnya mereka tidak bermaksud menyembah laut atau danyang (makhluk halus di laut). “Tutup layang hanyalah satu bentuk ucapan syukur kami, para nelayan atas karunia Tuhan, serta wujud penghormatan kami terhadap alam,” ucap Yanto.
Karena itulah, menurut Yanto, masyarakat Brondong tetap berkeinginan untuk melestarikan tradisi mereka yang diturunkan sejak nenek moyang. “Bagi kami, tradisi adalah amanah dari pendahulu, meskipun kami memang harus selektif dan menyesuaikan tradisi tersebut dengan etika yang berlaku sekarang,” tambah Yanto.
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Newsletter Ngaji Budaya PUSPeK Averroes, 2003
Gambar: http://surabaya.tribunnews.com/2013/01/24/cuaca-ekstrem-nelayan-lamongan-takut-melaut#sthash.030ggRyb.dpbs
Leave a Reply