Zaman Suharto “tidak enak babar blas” alias tidak enak sama sekali. Kalau Anda kritis waktu itu, maka alamat anda akan ditangkap intel, dipenjarakan atau tidak kembali ke rumah alias hilang.
Korupsi Merajalela dan Demokrasi Tidak Ada
Di zaman Suharto demokrasi hanya jargon belaka. Dalam pemilu tidak ada KPU, pantia pemilu berasal dari partai penguasa atau staf pemerintahan lokal yang dibuat oleh rezim Suharto sendiri. Tidak ada saksi, tidak ada bawaslu, tidak ada pengawas independen dll. Hasilnya, Golkar sebagai partai penguasa di era Suharto selalu menang pemilu selama 32 tahun.
Proyek-proyek pemerintah dikelola oleh orang-orang pemerintah dan kroninya sendiri, tidak ada tender yang terbuka dan akuntable, kalau toh ada hanya akal-akalan belaka. BUMN dikelola asal-asalan. Maka tidak aneh kalau hampir semua BUMN selalu merugi waktu itu. Di awal reformasi, mungkin anda masih dapat merasakan akibat pengelolaan BUMN yang asal-asalan ini.
Selain itu, korupsi terjadi di mana-mana. Hampir di semua bidang. Waktu itu, jika ingin lancar urusan, maka anda harus menyediakan amplop. Pelayanan publik sangat buruk dan lama. Untuk mengurus dan membuat KTP, KK, Surat Pencari Kerja dan surat pindah tidak ada yang gratis waktu itu, anda harus bayar. Tidak ada penjelasan uang itu untuk apa apalagi laporan tahunan penggunaan uang dan anggaran institusi pemerintah yang dibuka ke publik.
Tidak ada KPK waktu itu. Anehnya, hampir tidak ada satu pun kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan mencuat ke publik apalagi di bawah ke ranah hukum.
Menghilangnya Militan Garis Keras dan Perlawanan Para Aktivis
Para militan Islam garis keras seperti pentolan NII dll yang anti Pancasila dan NKRI serta berniat mendirikan negara Islam dibabat habis oleh Suharto. Akhirnya mereka “semburat” lari tunggang-langgang ke negara tetangga seperti Malaysia dll. Mungkin ini salah satu sisi positif Suharto meski sebenarnya langkah tersebut lebih untuk mempertahankan kekuasaannya.
Berbeda dari para militan garis keras yang memilih mengungsi ke luar negeri atau tiarap bersembunyi, para aktivis prodemokrasi dan mahasiswa tetap berani menanggung segala resiko ditangkap, digebukin, bahkan dihilangkan oleh rezim Orba.
Para aktivis prodem atau mereka yang prihatin dengan kesemena-menaan Orba waktu itu seperti Gus Dur, Rahman Tolleng, Adnan Buyung Nasution, Marsilam Simandjuntak, Bondan Gunawan, Dorojatun Kuntjorojakti, Emha Ainun Najib, dll tetap maju tak gentar mengkritisi pemerintahan Suharto.
Para aktivis prodem ini bahu-membahu dengan para aktivis mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia dan para politisi oposisi seperti Megawati Sukarno Putri yang waktu selalu berusaha disingkirkan oleh Orba.
Para aktivis dan mahasiswa aktivis waktu itu dengan semangat “revolusi” dan reformasinya menggelar forum-forum kritis melalui beebagai kegiatan seperti pentas seni, teater, baca puisi, seminar, hingga mimbar demokrasi bahkan demonstrasi-demonstrasi.
Akibat dari gerakannya itu, sebagian dari mereka rela hidupnya diintai oleh intel aparat selama 24 jam sehari. Sebagian besar mereka pernah merasakan diintimidasi dan ditahan. Sebagian lagi bernasip malang, harus menemui ajal seperti Udin (Wartawan), Marsinah (Aktivis Buruh), Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie (Mahasiswa Trisakti) dll.
Lebih tragis lagi, 13 aktivis penentang Suharto hingga kini tidak kembali termasuk di dalamnya ada penyair terkenal dari Solo, Widji Thukul.
Demikianlah, semoga kita selalu ingat pada masa-masa di mana era Suharto itu sangat berat. Hanya para aktivis yang kuat menjalaninya. Gerombolan ubur-ubur unyu yang sekarang suka berisik itu, di era Rezim Suharto, mereka tiarap.
Alfatehah untuk para aktivis dan korban yang meninggal dan hilang akibat keganasan rezim Suharto.
Salam Pecel
Leave a Reply