Barth (1988) menyebut etnisitas merujuk pada kelompok etnik sebagai suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan dengan pemahaman kulturnya. Mereka mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok yang lain. Sementara, menurut Sjaf (2014), etnik adalah produk sosial yang berisi konsep relasional yang terkait dengan identifikasi diri (subyektivitas) dan asal-usul sosial (objektivitas). Dengan demikian, identitas etnik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik. Lebih lanjut, Schultz & Lavenda (2001) berpendapat bahwa identitas dan etnisitas sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang dikonstruksi secara budaya. Identitas dan etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu.
Etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Askripsi merupakan proses penandaan sekelompok orang/ masyarakat tertentu dengan sesuatu (apa pun tandanya) sebagai ciri khas, pelabelan kelompok tertentu. Dalam proses tersebut terjadi interaksi individu dari berbagai latar belakang di berbagai bidang kehidupan. Artinya, proses askripsi tidak akan berlangsung ketika orang-orang benar-benar menyendiri. Itulah sebabnya, dalam banyak hal, seseorang sering tidak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tetapi diperlakukan sebagai anggota atau wakil kelompok/ masyarakat tertentu dengan askripsi tertentu pula.
Kontestasi Politik Dan Dominasi Etnis
Sebagai salah satu negara multietnik, Indonesia diperkirakan memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa dengan 2500 jenis bahasa (BPS 2010). Dalam kondisi masyarakat yang multietnik, dinamika politik lokal di Indonesia senantiasa memiliki tegangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang relatif homogen. Hal ini dapat dilihat pada kontestasi politik di Maluku Utara dan Kendari, dimana simbol-simbol etnisitas kerap dijadikan isu politik dalam kampanye para calon. Meski gambaran posisi etnis berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya, namun yang pasti bahwa dinamika politik lokal merupakan ruang eksistensi kekuasaan sekaligus ajang kontestasi etnis tertentu yang mengandung semangat primordial.
Isu etnisitas selalu menjadi yang krusial ketika menjelang pemilihan kepala daerah. Hal tersebut terjadi karena etnisitas merupakan salah satu modal sosial yang dapat dipergunakan untuk menjaring dan mengklaim suara. Etnisitas dalam era demokrasi saat ini seperti dua sisi mata uang. Pada satu sisi sebagai kekuatan penunjang politik, sedangkan pada sisi lainnya mengakibatkan sumber masalah. Etnisitas menjadi sebuah kekuatan jika digunakan dalam kadar yang sewajarnya, namun etnisitas menjadi masalah ketika dalam sebuah konstestasi politik digunakan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik. Menjelang pelaksanaan pemilukada di beberapa Kabupaten dan Kota yang akan dilaksanakan secara serentak pada Desember tahun ini, beragam isu etnis mulai mencuat ke permukaan. Mobilisasi pemilih secara masif dilakukan dengan mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan etnisitas, baik kesamaan etnis berbasis suku maupun agama.
Dalam studinya tentang dinamika politik lokal, Sjaf (2014) menyebut bahwa pembentukan politik identitas dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni; kepentingan ekonomi, kepentingan kekuasaan dan kepentingan kultural. Seperti dijelaskan oleh Marzuki (2010) dalam tatanan rezim politik yang bersifat tertutup, etnisitas secara sengaja dicoba untuk dieliminasi dari panggung arena politik. Kendati demikian, etnisitas dalam kadar tertentu terus bermain sebagai politik identitas dalam panggung kekuasaan secara laten. Sementara itu, dalam tatanan rezim politik yang bersifat terbuka, etnisitas justru nampak terus mengalami penguatan dan mendapatkan ruang ekspresi yang semakin luas.
Alih-alih sebagai jalan menuju pemenangan pemilihan, kesadaran etnis sebenarnya mutlak diperlukan dalam era globalisasi sebagai penangkal hegemoni dunia barat. Selain itu, kesadaran etnis juga dapat menjadi sangat berarti dalam era otonomi daerah saat ini. Seharusnya, desentralisasi kekuasaan melalui mekanisme otonomi daerah dapat menjadi kesempatan bagi siapapun dan apapun etnis atau suku bangsa agar dapat berdiri sejajar. Dengan peningkatan kesadaran etnisitas, di harapkan menjadi modal sosial dan instrumen pendewasaan demokrasi di tingkat lokal. Dengan demikian, konstruksi etnisitas harus dimaknai sebagai pengejawantahan Bhineka Tunggal Ika. Kesadaran etnis dengan semangat nasionalisme, bukan kebangkitan etnis dengan semangat primordialisme.
Leave a Reply