Berdiskusi dengan Prof. Dwi Cahyono, sejarawan dari UM dalam lingkaran kecil hall Averows Community Rabu 8 Desember kemarin menyuguhkan historis Kota Malang cukup membuka nalar penulis, bahwa konteks kedalaman peradaban sangat penting dalam membangun suatu daerah. Identitas masa lalu itu tidak hanya menjadi simbol lokalitas seperti Ponorogo dengan Reog, Jogjakarta dengan simbol keraton, Bali dengan estetik alam dan tradisi-tradisinya, Tulungagung dengan jaranan dan cethe warung kopi dan lain sebagainya. Lebih dari itu, simbol peradaban dan kesejarahan masa lalu juga mampu menjadi semangat kolektifitas visioner lokalitas.
Lantas muncul pertanyaan dalam forum, bagaimana dengan Kota Malang? Historis dan simbolik apa yang bisa kita suguhkan agar kolektifitas sosial, budaya dan keterikatan sejarah dengan masa lalu tidak bias dari diri kita sendiri, sekaligus mampu menjembatani komodifikasi budaya yang juga menguntungkan secara pragmatis?
Berbagai pertanyaan itu tumbuh dalam forum menyikapi berbagai keprihatinan akan tergerusnya kearifan dan kejayaan raja-raja lokalitas masa lalu yang pernah terbangun di Kota Malang. Tidak terbayangkan jika perjalanan Arok (yang kemudian menjadi raja kerajaan Singosari, sebuah kerajaan yang dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa yang disegani di seluruh Nusantara dan manca negara hingga 7 generasi sampai kemudian jatuh pada kerajaan Kediri lagi) akan sulit ditelusuri keberadaannya saat nama kampung-kampung di Kota Malang kian habis digusur oleh nama-nama baru seperti nama jalan dan nama perumahan. Kekhawatiran yang masuk akal karena saat ini kita akan lebih mudah mengenal nama jalan atau nama perumahan daripada nama kelurahan. Padahal nama-nama kelurahan itu tercipta dalam legenda-legenda dan perjalanan sejarah Kota Malang yang tidak pendek waktunya.
Cerita-cerita lain yang mengemuka dalam diskusi kecil itu (sayang penulis tidak mencatatnya) juga menelusuri jejak kewilayahan yang sudah terbangun di masa kerajaan-kerajaan. Berbagai wilayah telah terbagi dalam berbagai kerakter kewilayahan seperti area pertanian, area hutan, area resapan air dan lain sebagainya. Untuk itu berbagai bentuk irigasi dibangun oleh kerajaan Singosari yang terdiri dari tiga sistem denraise dan irigasi yakni: (1) aliran air yang menempel di atas tanah, disebut dengan kalen atau sungai, (2) aliran air yang berada di atas tanah atau disebut dengan talang dan (3) aliran air bawah tanah disebut dengan arung.
Yang menarik bagi penulis adalah semangat peradaban pembuatan aliran sungai bawah tanah untuk menembus daerah-daerah pertanian atau sebagai jalan air menanggulangi banjir. Sungai bawah tanah yang disebut arung tersebut dibuat dengan tenaga manusia dan dikemukakan oleh Prof. Dwi Cahyono kini sedang ditelusuri jejaknya di wilayah kota Malang. Hampir di keseluruhan kerajaan di Jawa telah membangun sistem aliran air bawah tanah ini, seperti sungai bawah “Surowono” yang ada di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.
Sistem aliran air bawah tanah ini merupakan adopsi kerajaan Hindu-Budha yang terpengaruh oleh teknologi peradaban dari India. Sementara India sendiri diyakini meniru pola terowongan ini dari kemajuan peradaban tanah Persia. Diyakini pula oleh para peserta diskusi, bahwa berbagai bentuk peradaban yang telah ada tersebut juga menjadi inspirasi Belanda dalam mengelola negaranya dari masalah air. Kita tahu, ketinggian daratan Belanda sebagian besar berada di bawah permukaan air laut.
Berbagai serpihan histori Kota Malang sebetulnya terungkap banyak dalam forum ini secara detail, baik dari berbagai sudut desa-desa masa lalu, perjalanan para punakawan, para raja hingga legenda kecantikan Ken Dedes yang membawa berbagai pertikaian yang unik, pengaruh dan keterikatannya dengan kerajaan lain dalam wilayah yang lebih luas pada tingkat nasional maupun regional, berbagai kearifan lokal, semangat kejayaan masa lalu dan lain sebagainya. Cerita itu disampaikan tidak hanya di era kerajaan, era pra-sejarah atau pada era kerajaan-kerajaan Jawa, tetapi juga di zaman penguasaan Belanda hingga pasca kemerdekaan. Semua menjadi mudah dan enak didengar diceritakan oleh Prof. Dwi Cahyono. Lagi-lagi yang disayangkan, penulis tidak mencatatnya sepenuh hati, sehingga ingatan ini tertulis dalam lembar apa adanya.
Dan harus diakui, sebenarnya diskusi tentang budaya dan peradaban seperti ini tidak akan pernah lekang oleh waktu. Apa yang terjadi di waktu lampau dengan berbagai corak kehidupan dan peninggalan fisik yang masih ada menjadi bukti bahwa kita hadir tidak serta merta membangun peradaban sendiri. Sebaliknya, kadang bangunan peradaban masa lalu sering membuat kita terkaget dan bertanya-tanya, mengapa nenek moyang kita mampu menyuguhkan bukti peradaban yang lebih bernilai daripada era kita saat ini?
Gambar: www.awidyarso65.wordpress.com
Leave a Reply