Sore itu, jalanan Malang sedang lenggang. Kendaraan yang berlalu-lalang minim, tak sesarat biasanya. Gerimis merintik manja menambah legamnya aspal,. Tampak dedaunan bergoyang perlahan searah dengan belaian angin. Cuaca yang sendu memang terlanjur umum di kota ini.
Semenjak beberapa hari yang lalu, Noko berencana untuk bertemu dengan Mujahid, teman kuliahnya dahulu. Perkenalannya dengan Mujahid dimulai ketika keduanya aktif di lembaga rohis kampus. Keduanya saling bahu-mambahu untuk ngurip-nguripi lembaga tersebut. Maklum saja, lembaga dengan background agama kurang diminati oleh mahasiswa di kampus negeri umum.
Sebagai teman, Noko dan Mujahid sering kali menghabiskan waktu bersama. Obrolan keduanya juga beragam, mulai dari kisah asmara hingga menyangkut negara. Namun, dari kesekian obrolan, tidak ada yang semeriah pembicaraan tentang agama. Sebagai lulusan sekolah umum, Mujahid sangat senang berteman dengan Noko yang notabene lulusan pesantren-seorang santri. Ia sering kali bertanya seputar agama pada Noko, pertanyaan yang ia ajukan pun beragam, mulai dari babakan syari’ah macam thoharah hingga ikhwal daulah khilafah islamiyah.
Jam menunjuk tepat pukul empat kurang seperempat, Noko sudah berada di depan kontrakan Mujahid. Ia masuk, sesaat setelah melihat Mujahid berdiri didepannya. Di ruang tamu, terlihat beberapa teman-teman Mujahid tengah menonton video di Youtube. “Orang-orang ini masih saja seperti dahulu.” Kata Noko dalam hati. Prasangka tersebut menyeruak tatkala mendapati video yang dilihat adalah video kekerasan di Timur Tengah. Tontonan yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.
Setelah saling bertukar kabar, keduanya kembali terlibat obrolan serius seputar agama.
“Mas, aku kok semakin muak ya dengan pemerintahan di negara ini!”
“Lhoo, kenapa lagi?”
“Ya itulah, Mas. Terutama masalah bom di Sarinah kemarin. Apa gak ada pihak lain selain oknum agama untuk diindikasikan dan dijadikan tersangka?”
“Hahaha. Biasalah, terlanjur mengakar dalam kasus yang begitu.”
“Itulah, Mas. Kayak gak ada pihak lain saja. Toh yang gak suka dan gak cocok dengan pemerintahan atau sistemnya juga banyak. Belum lagi konspirasi-konspirasi dajjal yang seolah enggan dipecahkan.”
“Hehehe. Bahasamu, Hid. Terus mau kamu apa?”
“Ya gimana ya. Entahlah, Mas. Andai aku masih seperti yang dahulu, pasti aku hari ini ikhlas jadi pengantin selanjutnya.”
Benar. Pasca keluarnya Noko dari lembaga rohis kampus, Mujahid menjadi semakin ekstrim. Dari gelagatnya ketika berdiskusi atau menampilkan diri, nampak Mujahid telah merubah pandangan hidup. Jika selama ini ia toleran dengan orang dari agama lain, ia mulai kehilangan sikap tersebut. Jangankan dengan mereka yang non-islam, dengan sesama muslim yang berbeda masjid saja ia berubah. Tak hanya itu, Mujahid juga beberapa kali kedapatan mengikuti pelatihan-pelatihan jihad (perang) di jalan Allah.
Lembaga rohis kampus memang menjadi salah satu sarang kaderisasi gerakan Islam radikal. Paham ideologi beraroma fundamental sering kali disusupkan dalam kegiatan-kegiatan atau pelatihan-pelatihan. Sasaran mereka lebih banyak difokuskan kepada mahasiswa dengan latar belakang sekolah umum. Selain pemahaman agama yang minim, mereka juga tergolong “menyerah” jika berhadapan dengan mereka yang “berjualan dalil”.
“Istighfar! Jihad tak melulu soal perang, apalagi melakukan pengeboman.”
“Iya, Mas. Tapi, aku bener-bener semeremet melihat kasus Sarinah kemarin. Lagi-lagi Islam, lagi-lagi Islam.”
“Hasil penelusuran kan memang mengarah kesana. Memangnya kamu punya bukti yang menyebutkan bahwa pelaku adalah pihak lain.”
“Gak punya sih, Mas. Tapi kok ya bahkan sebelum ada investigasi saja hampir semua sepakat itu kelompok ekstrimis Islam.”
“Yasudahlah. Kita doakan saja yang terbaik untuk semuanya. Dan yang paling penting lagi, buat kamu, jangan pernah lagi berpikiran sesimpel itu. Sedikit-sedikit jihad, sedikit-sedikit angkat senjata. Islam gak sebercanda itu.”
“Iya, Mas. Untung saja aku ketemu sampean lagi. Kalau enggak, gak taulah hari ini aku jadi apa.”
“Jadi pengantin gakpapa. Asal ada wali sama saksi beserta ijab-qobulnya.”
“Hahaha. Sampean ini bisa saja.”
Sewaktu menginjak semester akhir, keduanya kembali bertemu karena dosen pembimbing yang sama. Mujahid mengakui bahwa hampir selama tiga tahun terakhir, dirinya sangat terpengaruh dengan cita-cita pendirian Negara Islam di Indonesia. Para murabbi banyak menjejali pemikiran-pemikiran fundamentalis untuk merombak tatanan pemerintahan di Indonesia. Ketertarikan Mujahid semakin menjadi-jadi pasca diperlihatkan konspirasi-konspirasi dan kekejaman bangsa Barat terhadap orang muslim.
Sampai akhirnya, pertemuannya kembali dengan Noko menjadi titik balik. Ia banyak mendapatkan pencerahan terhadap hakikat jihad fi sabilillah. Jika dahulu segala hal tentang Islam hanya dipahami secara tekstual, kini ia sudah hijrah, beralih ke pemahaman yang lebih kontekstual. Ia sudah mau mengenakan sarung, celananya tak lagi kolot diatas lutut, pecinya pun sudah berwarna hitam. Ia kembali bersahabat dengan semua orang-dan menganggap semua masjid sama. Rumah Allah yang diperuntukkan untuk semua umat Islam.
Sumber gambar: https://cdn.kisahmuslim.com/wp-content/uploads/2015/07/Sejarah-Terorisme3.jpg