Hening, begitu kesan yang kurasakan saat aku memasuki sanggar peribadatan yang berada di Jl. Dr. Wahidin 36-38 Lawang Kabupaten Malang ini. “Orangnya lagi istirahat, Pak” jawab seseorang paruh baya yang mengaku sebagai tukang parkir dengan gaya yang agak cuek. Kompleks peribadatan umat Budha ini terdiri atas tiga bangunan pokok; sebuah bangunan utama tempat pemujaan yang terletak di bagian selatan, sebuah candi berkubah putih nan megah di sebelah utara, dan komplek asrama yang berada di belakang candi. Bangunan utama itu nampak lengang. Di dalamnya terdapat patung Budha warna keemasan menghadap ke pintu masuk. Ada beberapa dupa yang terbakar di atas meja kecil, tepat di depan patung Budha itu. Di dinding banguan utama terdapat tulisan “Yayasan Sukhavati Bodhimanda Rumah Suci”. Dalam khazanah budhis, “bodhimanda” berarti tempat untuk meraih pencerahan. Sanggar suci ini memang menjadi pusat peribadatan penganut Budha di Lawang dan sekitarnya.
Candi itu nampak cukup menojol dan dominan dalam kompleks itu. Bangunan itu berukuran sekitar 100 meter persegi. Keempat sisi dinding itu terdapat relief yang menyiratkan sebuah cerita di masa lalu. Di sisi bagian depan terdapat tulisan “In Memory Of Rev Yogi Pamitra 1930”. Di sekitarnya terdapat patung-patung dan ukiran khas china yang elok dan bernilai seni . Di depan candi terdapat patung orang suci yang diletakkan dalam altar pemujaan. Meski tidak begitu luas, komplek vihara ini sangat anggun dan cantik.
Vihara ini sudah bertahun-tahun membangun tradisi untuk menggelar kegiatan sosial bertajuk penyediaan buka puasa bagi masyarakat sekitar. Pimpinan Vihara, Winantea Listiahadi mengaku tradisi itu berlangsung sejak tahun 1998 dengan menghimpun dana dan tenaga sampai dari luar Malang . Mereka ikut memberikan solidaritas sosial kepada warga sekitar. Awalnya dahulu vihara ini hanya menyediakan beberapa puluh porsi. Dengan berjalannya waktu ternyata vihara ini mempu menggalang beberapa dermawan dan sukarelawan untuk meningkatkan “oplah” sehingga kegiatan ini bisa dinikmati hingga ratusan orang.
Meski para rohaniawan yang tergabung dalam Jemaat Meta itu tidak mengkonsumsi daging, makanan yang disajikan dalam buka puasa selalu nampak lezat dengan berbagai menu yang penuh gizi seperti rawon, soto, sup, opor dan sebaginya. Tidak hanya itu, pihak dapur juga memperahatikan betul aspek kehalalan dalam mengolah bahan makanan bagi shooimun ini. Mereka berani menjamin bahwa bahan makanan dari kegiatan ini berasal dari sumber yang halal. Perhatian dalam aspek kehalalan ini menunjukkan semangat totalitas yang luar biasa para pekerja sosial ini dalam memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang membutuhkan.
Rabu sore, 17 September 2008, saya mencoba ikut nimbrung dalam ”pesta rakyat” tahunan itu. Sejak pukul 16.30 warga sekitar sudah mulai berkerumun dalam terop seluas kurang lebih 400 meter persegi itu. Anggota jemaat Meta yang berjumlah sekitar 12 orang sudah nampak sibuk di dapur menata perangkat makanan dan meracik bahan baku. Beberapa anak jalanan yang datang di tempat itu lebih awal mulai memainkan gitar sembari menunggui maghrib tiba. Satuan polantaspun tidak ketinggalan. Mereka membantu para pengunjung untuk menyeberangi jalan raya yang cukup ramai itu. Hampir setiap menit, para aparat hukum itu tidak segan untuk wira-wiri mengantarkan penyeberang jalan, meski hanya satu dua orang.
Menjelang adzan berkumandang, warga mulai merapat dan mengantri pada ring antrian yang sudah diatur sedemikian rupa. Mereka terdiri dari anak-anak, ibu-ibu sampai kakek-kakek. Bahkan ada seniman jaran kepang bernama Aris yang datang dengan anak perempuannya dengan memakai ”pakaian dinas”nya. Sore itu menunya adalah soto ayam dan teh manis. Saat maghrib tiba, warga mulai menyantap nasi soto itu dengan lahap. Karena kursi dan bangku yang disediakan tidak mampu menampung ratusan pengunjung, beberapa orang sampai rela duduk di bawah. Anak-anak kecil membuat forum-forum sendiri.
Ada sekitar 500-an warga mengantri di tempat yang berjarak sekitar 40 meter dari kompleks vihara itu. Saking banyaknya, beberapa anak kecil sampai harus menikmati makanan itu sambil duduk di bawah. ”Ini sudah bertahun-tahun, Mas” terang seorang ibu yang bernama Siti warga desa Sumber Waras yang datang beserta tiga anaknya. Kegiatan buka puasa yang dilakukan oleh vihara ini menurut Siti dilakukan dengan sepenuh hati. Hal ini bisa dilihat dari keramahan mereka membagikan makanan dan minuman kepada warga tanpa pandang bulu. Anang, seorang musisi jalanan mengaku hampir setiap hari menyempatkan waktu bersama kawan-kawannya berbuka puasa di situ. Setiap sore setelah berjuang mencari hidup di Terminal Arjosari, Anang selalu berangkat menuju Lawang untuk membatalkan puasa dengan sajian dari vihara itu.
Potret ini tentu saja sangat menggelitik, khususnya bagi kalangan muslim yang mampu. Aktifitas ini bahkan sempat mendapatkan sorotan dari kelompok gerakan muslim. Sebuah forum aktivis Islam asal Singosari menggelar kegiatan yang serupa dan di pusatkan di Masjid Pangeran Dipongoro sekitar 1 km ke arah utara dari vihara. Mereka juga memasang baliho bertuliskan “Takjil Gartis. Dari Umat Islam Untuk Umat Islam”. Salah seorang anggota forum menyatakan bahwa aktivitas yang digelar Vihara kurang simpatik karena disinyalir para warga yang berbuka di situ melupakan untuk menjalankan Sholat Maghrib. Untuk itulah dia beserta rekan-rekannya menggalang pengumpulkan takjil gratis dan dipusatkan di Masjid yang berada di sebelah utara Pasar Lawang itu sehingga kaum muslim yang ingin berbuka puasa tidak terlena untuk menunaikan kewajiban sholat. Seorang aktivis FORMAISS sempat menyatakan niatnya bahwa suatu saat jika geraknnya sudah kuat, maka dia akan mendesak pemerintah untuk menutup kegiatan buka puasa di Vihara itu.
Melihat kegundahan ini, KH Ismail, Pengasuh PP Ash Shidiqi Lawang, memaklumi keresahan sebagin umat muslim ini. Menurutnya, kegiatan buka puasa ala vihara ini memang mengundang prasangka. Kegiatan yang sasarannya adalah kelompok dhu’afa ini bisa jadi akan dianggap sebagai kegiatan yang hanya menarik simpati semata. Karenanya Ketua GP Anshor kecamatan Lawang ini mengusulkan agar kegiatan buka puasa ini lebih baik bekerjasama atau diserahkan agar dikelola langsung oleh umat Islam. Atau kalaupaun bertujuan sebagia kegiatan sosial seyogyanya dilakukan di luar bulan puasa, atau tidak menggunakan label ”Buka Puasa”. Meskipun demikian, KH Ismail menghimbau kepada kaum muslimin untuk lebih memiliki kepekaan sosial sehingga lebih memperhatikan nasib kaum dhuafa.
Saya jadi teringat sebuah Sabda nabi, Man Faththara shaa-iman kaana lahu ajrun mitslu ajrihi ghoira annahu laa yanqushu min ajri ash shaaimi syaiun [HR. Turmudzi]. Meski bulan puasa selalu dibarengi dengan kenaikan harga pokok dan meningkatnya kebutuhan konsumsi, setidaknya dengan hadits tersebut di atas, kaum muslimin masih dianjurkan untuk tetap bershadaqah dan memberikan sebagian rizqinya untuk orang yang membutuhkan, salah satunya melalui mementum buka puasa. Di vihara ini nampaknya pesan Muhammad di atas telah lama diaktualisasikan olah para jemaat Meta. Terlepas ada gerakan yang menggugat keberadaan mereka, fenomena ini seharusnya bisa menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia, terlebih penganut agama Islam. Kaum agamawan hendakanya bisa lebih mempertebal rasa solidaritas kemanusiaan. Karena pada hekakatnya, agama hadir untuk memberikan yang terbaik bagi kemanuasiaan. Wallahu a’lam.
Leave a Reply