Madura adalah sebuah pulau di Jawa Timur, yang sampai hari ini masih menarik untuk diperbincangkan. Entah membicarakan tentang kebudayaannya yang identik dengan tradisi carok, kerapan sapi, jamu singset dan rapet yang khas dengan ramuan asli Maduranya. Atau bahkan dengan cerita lucu yang seringkali membuat orang tertawa terbahak-bahak, sambil memegang perut.
Tidak hanya itu, akan tetapi Madura juga memiliki aneka macam makanan khas seperti rujak, sate, petis, soto dan banyak lagi menu kuliner yang mungkin tidak akan bisa kita temui di daerah lain. Kecuali, ada orang Madura yang merantau untuk mengais rezeki dengan menjual makanan-makanan khas seperti yang tercatat di atas.
Dari sekian banyaknya produk kebudayaan dan produk makanan khas yang ada di Madura itu, kita juga dapat menjumpai situs-situs kebudayaan yang sampai hari ini masih menjadi obyek pariwisata. Sebut saja situs-situs kebudayaan yang ada di Sumenep (salah satu kabupaten di bagian timur Pulau Madura). Ada banyak situs yang menjadi penting untuk kita ketahui bersama. Dari kereta kencana peninggalan raja Sumenep, alun-alun (taman bunga) yang konsep bangunannya memiliki kekhasan ala bangunan kerajaan, Masjid Jami’ atau Masjid Agung yang terletak di jantung Kota Sumenep, Masjid ini termasuk salah satu masjid tertua di Indonesia yang dibangun pada tahun 1779 M sampai 1787 M oleh Panembahan Sumolo.
Ternyata Sumenep juga tidak mau kalah dengan Yogyakarta yang memiliki keraton. Karena, Sumenep pun memiliki sejarah pemerintahan dengan system kerajaan. Sampai hari ini masih ada dinasti sejarah berupa keraton yang menjadi penggalan sejarah di Jawa Timur, keraton ini berhasil dibangun sejak tahun 1780 M, yang juga didirikan oleh Panembahan Sumolo atau di kenal dengan gelar Tumenggung Arya Nata Kusuma.
Selain itu, Sumenep juga memiliki situs-situs kebudayaan berupa tempat dimana makam para tokoh-tokoh bersejarah dan wali-wali Sumenep disemayamkan. Di antaranya makam Sayyid Yusuf (Asta Yusuf) yang banyak dikunjungi oleh kalangan umat muslim dari berbagai macam daerah, yang terletak di pulau Talango (salah satu pulau di kabupaten Sumenep). Untuk sampai pada pulau itu, pengunjung harus menyebrang dari pelabuhan Kalianget, dengan menaiki kapal laut yang terbuat dari kayu.
Ada lagi, Makam Mbah Angga Suto (nama Arabnya: Syekh Abdurrahman) beserta istri dan sahabat-sahabatnya (Mbah Kabasa, Mbah Dukon, dan lain-lain). Makam yang cukup menjadi sorotan Budayawan dan Wisatawan Sumenep ini, terletak di Desa Kebun Dadap Kecamatan Saronggi (kurang lebih 10 km bagian selatan dari pusat Kota Sumenep). Ketika musim kemarau datang, maka itu menandakan bahwa perayaan adat masyarakat desa Pinggir Papas dan Karanganyar (sebelah utara dari seberang sungai Desa Kebun Dadap) juga harus diselenggarakan.
Masyarakat Pinggir Papas dan Karanganyar merayakan adat yang biasa disebut sebagai upacara Nyadhar (baca: Nadzar) itu di desa Kebun Dadap, dengan menginap selama dua hari bersama sanak saudara dan keluarganya. Itu dilakukan setiap tahun, dengan dua kali perayaan adat, yaitu dengan berziarah kubur ala adat yang menjadi kekayaan mereka dalam konteks kebudayaan. Dengan kelengkapan tokoh adat yang lengkap dengan pakaian adatnya, juga sesajen berupa keminyan yang dibakar di atas api: ketika do’a-do’a mulai dibacakan tokoh adat. Dan kembang pun siap untuk ditaburkan di atas makam Angga Suto beserta istri dan kerabatnya. Upacara itu dilakukan dengan penuh khidmat di sore hari (ziarah kubur) dan ke esokan harinya (pagi hari) dengan membacakan doa yang dilengkapi dengan makanan berupa nasi yang diatasnya dihiasai telor dadar dengan kemasan yang menyerupai sinar matahari, serta sepotong ayam goreng.
Meski ada yang berbeda dalam konteks pelaksanaannya, ziarah kubur seperti yang terjadi pada perayaan adat masyarakat Pinggir Papas dan Karanganyar, merupakan ritualitas kaum muslim pada umumnya. Meski perlu diketahui bahwa, tempo itu Nabi Muhammad SAW pernah melarang umatnya melakukan ritualitas ziarah kubur. Karena pada waktu itu, banyak terjadi kemusyrikan yang disebabkan oleh ritualitas itu. Namun, selanjutnya Muhammad pun berubah pikiran, hal itu bisa kita temui lewat anjurannya untuk melakukan ziarah kubur. Dengan begitu, akan mengingatkan kita (penziarah) bahwa kita pun akan mengalami hal yang sama dengan almarhum (kematian).
Rasulullah bersabda dalam hadistnya, ”Dulu aku melarang kalian semua berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahilah ia.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada kematian, dan dalam riwayat At Tirmidzi: “Karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada akherat”. Dari hadits ini, maka hendaknya kita dapat menjabarkannya dalam realitas keseharian. Seperti, yang dilakukan mayarakat Sumenep ketika menziarahi makam raja-raja Sumenep beserta kerabatnya di tempat pemakaman asta tinggi.
Meleburnya Stratifikasi Sosial di Asta Tinggi
Asta tinggi terletak 2,5 meter dari sebelah barat pusaran Kota Sumenep. Walau bangunan ini sudah cukup tua (dengan usianya yang sudah sekitar 200 tahunan), namun bangunannya masih kokoh (meski dalam perangkat bangunannya tidak memakai bahan semen sebagai pelekat dari jejeran batu batanya). Pertama yang akan dilihat, ketika kita pergi ke tempat yang berada di area ketinggian ini, adalah bangunan pintu gerbang yang tinggi mendulang dan enak dipandang: karena desain bangunannya menampakkan kekhasan kunonya dengan karakter kerajaan.
Kemudian di dalam area Asta, kita akan menemukan jejeran makam dari beberapa raja Sumenep beserta kerabatnya, yang dalam catatan sejarah Sumenep mereka adalah orang-orang penting yang juga ikut andil dalam perkembangan Sumenep dalam konteks ekonomi, politik, sosial dan budaya. Namun, sebelum memasuki bangunan khusus, tempat dimana makam para raja dan wali sumenep disakralkan, terlebih dahulu kita harus mengahadap petugas yang menjaga asta untuk mengisi daftar tamu. Selanjutnya, kita akan mendapatkan banyak cerita sejarah dari petugas, terkait dengan sejarah kehidupan serta perjuangan para raja dalam melakukan pembangunan di Kerajaan Sumenep kala itu.
Selain makam para raja Sumenep, di sana kita juga akan menjumpai makam Pangeran Diponegoro. Makam sang pangeran ini berada pada bangunan khusus, yang terletak di belakang area asta tinggi. Selain menunjukkan makamnya, petugas juga akan menceritakan secara gamblang terkait dengan perjalanan sang pahlawan ini, lengkap dengan bukti sejarahnya. bahwa ternyata makam itu merupakan makam asli dari tokoh sejarah nasional itu. Kemudian kita juga akan mengetahui bahwa makam Diponegoro yang terletak di Mataram itu, merupakan makam dari orang yang dulu ditugaskan oleh pangeran untuk menyamar menjadi dirinya.
Hampir setiap hari, tempat ini tidak pernah absen dari keramaian pengunjung. Selain dijadikan tempat wisata, tempat ini juga banyak diziarahi oleh masyarakat secara umum. Tentunya. mereka terdiri dari berbagai macam status sosial. Diantaranya ada dari kalangan santri, pejabat, petani, nelayan, seniman (sinden, kelompok musik tradisional saronen), wirausahawan bahkan dari kalangan blater yang hobi kerapan sapi pun datang ke tempat yang diyakini mustajabah ini untuk cari wangsit/hoki atas kemenangannya dalam kompetisi kerapan sapinya.
Khusus pada Minggu pagi (antara jam 5.00 sampai 6.30an), tempat yang terdapat tumbuh-tumbuhan hijau nan indah ini, juga dijadikan tempat favoritnya anak muda yang datang dari berbagai macam tempat. Ada yang berolahraga dengan larai-lari pagi, jalan-jalan sambil bermesraan dengan pasangan masing-masing, juga ada yang hanya mengisi waktu liburnya dengan sebatas terbar pesona semata. Adapun alasan mereka, menjadikan asta tinggi sebagai tempat yang paling strategis untuk mengawali aktivitas hari liburnya, adalah karena posisi geografisnya yang berada di ketinggian dalam peta geografi kabupaten adipura ini. Sehingga, di sana mereka akan mendapatkan keindahan panorama alam Kabupaten Sumenep.
Santri beranggapan bahwa, kepergiaannya ke asta tinggi di samping tawassul kepada asta raja-raja Sumenep dan para wali, mereka juga meyakini dengan berziarah, akan mengingat mereka atas kematiaan. Hal itu diungkapkan oleh almarhum KH. Tsabit Khazin (mantan pengasuh Pondok Pesantren An-Nuqoyah Guluk-guluk). Walaupun tidak semua santri berziarah bersama rombongannya, akan tetapi, banyak juga rombongan santri dari berbagai macam organisasi keagamaan (jama’ah istighasah, tahlilan, sholawatan,dll) yang berziarah dengan membacakan do’a di sana.
?
Berbeda dengan kalangan santri, seniman sinden mendatangi asta tinggi hanya untuk berdo’a agar profesi yang digelutinya dapat laris di pasaran seni tradisional. Begitu pula dengan kelompok saronen, mereka biasanya datang dengan diajak para penghobi kerapan sapi yang memenangkan pertandingan. Dengan memainkan musik saronen di depan gerbang asta tinggi, mereka mengekspresikan rasa syukurnya atas kemenangan dalam pertandingan kerapan sapi.
Dari kedua kelompok masyarakat (seniman dan santri) itu, setidaknya ada perbedaan yang signifikan dalam mengekspresikan ziarah kubur. Perbedaan itu kemudian berangkat dari keyakinan masing-masing terhadap ekspresi berdo’a atau bersyukur di depan asta tinggi Sumenep. Bagi kalangan santri, ekspresi ziarah kubur seharusnya dapat dilakukan dengan hanya membacakan doa buat almarhum. Ada dampak terhadap almarhum yang ada di alam kubur, dan dampak terhadap kita yang masih berada di dunia ini. Dampak yang dimaksud bisa pengampunan dosa bagi yang dikirimi doanya dan berupa barokah terhadap hidup kita yang masih bisa menikmati hidup.
Adapun bagi seniman saronen, ekspresi ziarah kubur tidak harus berupa do’a-do’a arabiyyah seperti yang dilakukan oleh kelompok santri. Ekspresi yang dimaksud seniman lokal itu adalah ekspresi yang termanifestasikan dalam bentuk lirik lagu dari kejungan (bahasa Madura: nyanyian) yang mereka lantunkan denga diiringi musik saronennya. Barangkali itu bentuk kontekstualisasi kebudayaan di Sumenep. Akibat dari tindakan itu, banyak kalangan santri yang memberi kritikan, mereka menggap bahwa ekspresi itu berpengaruh terhadap sakralitas ritual keagamaan. Jangankan memainkan saronen di depan asta tinggi, di tempat lain pun saronen sudah dianggap musik yang dapat merusak moralitas masyarakat. Karena di dalamnya terdapat aksi seni, berupa kejungan yang berdampak terhadap keharmonisan hubungan rumah tangga.
Biasanya, musik saronen pada umumnya dijadikan media bagi masyarakat yang menyukainya untuk mengirimkan salam sayang pada orang yang special dalam hidupnya. Hal itu tidak hanya dilakukan oleh kalangan muda, kalangan tua yang sudah bersuami istri pun menikmati praktek tersebut. Sehingga dari fakta itu, dapat dijadikan salah satu alasan bagi kalangan santri untuk mengungkapkan keprihatinannya atas ekspresi kelompok saronen di tempat yang dikeramatkan seperti halnya asta tinggi.
Terlepas dari kontroversi antara seniman saronen dan santri itu, yang pasti Asta Tinggi merupakan tempat yang dapat mempertemukan semua kalangan, yang notabene tidak dapat bertemu dalam konteks realitas kebudayaan yang terjadi. Begitu pula dengan perbedaan status sosial, asta tinggi dapat menjadikan stratifikasi sosial melebur dalam posisi yang sejajar. Karena di asta tinggilah semua orang yang memiliki identitas sosial itu, sama-sama memiliki status sebagai penziarah astanya para raja dan kerabatnya. Sehingga perbedaan strata tidak lagi ada dalam area asta.
Ditulis oleh Fairouz Huda
email: fairouz_movement at yahoo.co.id
RoOm_4V3R!oUz says
Hi… Pulau Madura emank pwalink OKEEE…..