“Kulo niki yok nopo, rodok bingung, arep ngundakno sewu sego karo teh’e dadi enem ewu gak tego, mas. Niki mawon jektas kulo undakno seminggu niki,” tukas mbok sri, penjual warung langganan saya. Warung mbok Sri sendiri adalah salah satu diantara beberapa warung yang terletak di jalan Ngagel Timur Surabaya. Namun berbeda dengan warung lainnya yang rata-rata bersih, warung Mbok Sri ini terkesan paling kotor dan kumuh.
Karena kesan tersebut, warung Mbok Sri justru warung yang sangat spesial sebab selain harganya “tidak masuk akal” untuk ukuran Surabaya, karena kekumuhannya, warung ini hanya didatangi oleh para tukang becak, pencari barang bekas dan perantau yang penghasilannya kisaran 20 ribu rupiah ke bawah. Mengapa demikian? Karena nasi dan lauk yang disajikan cukup banyak sehingga mampu mengayuh becak dan mencari barang rongsokan dengan tenaga cukup. Atau mungkin bisa ngirit frekuensi makan hingga sehari cukup dua kali makan.
Jadi, jangan berharap pegawai di beberapa kantor dan pertokoan terdekat seperti kantor Komisi Pelayanan Publik (KPP), Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), PT. PLN Ngagel dan beberapa kantor lainnya nangkring di bangku reyot di warung mbok Sri, karena mereka butuh “kenyamanan dan bersih” bukan “harga murah tenaga kuat” ala tukang becak atau tukang roso’an.
Kembali pada pernyataan Mbok Sri, sambil kusantap nasi oseng-oseng berlauk “kriwilan gereh (ikan asin murahan) gosong karena digoreng dengan jelantah, ku dengar dia menjelaskan, “Sakniki sedoyo mundak, lengo mundak, gulo mundak, lha kulo niki arep mundakno teko limang ewu sak teh’e dadi enem ewu ra tego. Eling-eling golek duwek sewu jaman sakniki nggih angel, becak yo sepi, golek rosok’an yo angel.”
Mendengar pernyataan tersebut dengan serta merta bulu kuduk ku berdiri. Seolah tersentak oleh pernyataann sederhana dari “piyantun Blitar” yang sudah “boro kerjo” 30 tahun di Surabaya ini mengingatkanku pada essensi dari interaksi antar manusia termasuk dalam perspektif kerja atau bisnis. Topeng profesionalisme yang berbaur dengan manisnya bujuk rayu materialisme telah membuat manusia lupa akan hakikat hubungan antar manusia dalam kehidupan, termasuk dunia kerja.
Berbagai jargon dan kumpulan kata telah menggerus semangat solidaritas antar manusia. Sebut saja “mbayar murah njaluk slamet”, “ono rego ono rupo”, “nek pengen apik yo kudu nambah” dan sejuta celetuk lainnya menjadi pernyataan yang sedikit demi sedikit memasuki alam bawah sadar ingatan kita. Dampaknya sungguh mengerikan, kitapun secara perlahan namun pasti terbawa pada kondisi “transaksional materialistik” yang membatasi solidaritas dan naluri kemanusiaan sejati kita.
Mbok Sri bagi saya mewakili sosok manusia Indonesia yang masih mempertahankan nilai-nilai luhur nenek moyang. Bayangkan pernyataan ini. “Sakjane kulo mboten pengen ngundak’aken mas, tapi yo nopo pun meh sak ulan kulo Cuma bati (untung) bisa numpang maem. Kan percuma kerjo nek ngoten niki. Lak leres tah mas.”
Bagiku ungkapan ini, walaupun sederhana bermakna sangat dalam. Seorang Mbok Sri yang begitu berusaha mempertahankan solidaritas kepada sesama, pada titik tertentu dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Kenaikan bahan pokok makanan, mau tak mau membuatnya harus tega melakukan hal yang tidak disukainya. Ini sungguh luar biasa.. Beliau bukan orang kaya, beliau masih berkekurangan, tapi beliau masih memikirkan nasib orang lain.
Yang menjadi pertanyaanku sembari menyantap tahu bercampur sisa jelantah gereh adalah, “Masihkah ada perasaan dan pemikiran seperti yang dimiliki Mbok Sri, dalam diri para pemangku kepentingan di negeri ini? Adakah solidaritas kemanusiaan yang sama pada diri mereka? Adakah bisikan nurani yang sama dengan nurani Mbok Sri mereka dengar?
Di tengah ruwetnya diriku dengan pertanyaan bertubi-tubi yang muncul di benakku, aku tersadar bahwa pertanyaanku tidak akan pernah terjawab karena “dalih berfikir global dan bertindak global untuk hal yang bersifat lokal (kontekstual) membuat para pemangku kepentingan di negeri ini “gak sempet” mikir apa yang mbok Sri pikirkan. Jauh panggang dari api itu jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanku dan mungkin pertanyaan berjuta manusia di negeri ini.
Berkaca pada teori hierarkhi kebutuhan manusia menurut Maslow dan teori Jouhari Windows, ada perbedaan mendasar antara apa yang ada dibenak dan perasaan para pemangku kepentingan di negeri ini dan perasaan juga pemikiran “pahlawan nurani” yang diwakili oleh mbok Sri.
Dalam perjalanan pulang menuju “tempatku beraktivitas rutin” aku dihantui sebuah pertanyaan, “Bagaimana caranya supaya pemangku kepentingan di negeri ini dapat memahami “Wong cilik” dari sisi wong ciik itu sendiri? Pertanyaan ini terlihat sederhana tapi rentetannya panjang. (Keluarnya beragam kebijakan dan regulasi dari pemerintah pusat yang muncul selalu “njomplang” dengan kondisi di lapangan diakibatkan oleh proses pengambilan regulasi yang bersifat top down dan teoritis. Pola ini menyebabkan kebijakan yang dihasilkan tidak berpihak pada pihak yang harusnya mendapatkan manfaat dari kebijakan yang dimaksud).
Setelah sekian menit ku berfikir di dalam ruang sederhana yang ku tempati, keberadaan “penghuni Makam Ngagel” yang berhimpitan dengan tembok ruanganku memberiku inspirasi. “Nek pengen ngerti kutu eruh, nek pingin eruh yo kudu ngalami opo teko nang panggonane”.
Makna kata-kata tersebut buatku, untuk dapat memiliki perasaan dan pemikiran seperti Mbok Sri dan sejuta pahlawan nurani lainnya, para pemangku kepentingan bahkan presiden serta semua petinggi di negeri dan wilayah Nusantara ini perlu mampir dan makan (benar-benar makan bukan untuk pencitraan) di Warung Mbok Sri-Mbok Sri yang banyak bertebaran di antero Nusantara ini (Akhir Januari 2014, Pinggir Kuburan Ngagel)
Leave a Reply