Setelah hampir seharian berkeliling Jakarta dan sekitarnya, Jhon melemparkan beberapa tumpukan brosur yang digenggamnya ke atas meja ruang tamu. Ada sekitar 5 brosur cetak dan 4 fotokopian berhamburan memenuhi meja dari kayu jati berlapis kaca yang berada di hadapannya.
Ia hempaskan tubunya di sofa ruang tamu itu. Sambil menghela nafas dalam-dalam, dilepasnya kaos kaki yang terasa sesak karena seharian membalut ke dua kakinya yang terbungkus sepatu kulit hitam. Sambil menghela nafas dalam-dalam Ia luruskan kakinya dan mengangkat ke dua tangannya ke atas tinggi-tinggi kemudian menaruhnya di atas sandaran sofa hingga ke dua tangannya itu sejajar dengan bahunya.
Baru saja ia menselonjorkan badanya, tiba-tiba telepon seluler di saku bajunya bergetar. Dengan sedikit malas ia rogoh alat komunikasi seberat 90 gram itu, ia lihat ada “short message” dari istrinya.
“Ayah, bagaimana hasilnya yah, apa sudah dapat pilihan sekolah yang cocok buat Queen?”
Jhon hanya mengambil nafas dalam-dalam, ia masih malas untuk langsung membalas SMS dari Robie, istrinya. Ia taruh telepon selluler itu dengan sedikit melempar pelan hingga jatuh di tumpukan brosur di atas meja di depannya.
John sendiri masih bimbang, ada 5 sekolah yang sudah ia survey dalam tiga hari ini. Ia sengaja mengambil jatah cuti dari kantornya yang berlokasi di Sudirman, jatah cuti yang tidak pernah diambilnya dalam setahun ini.
Ia kemudian menarik punggungnya dari sandaran sofa, dan duduk sedikit membungkukkan bahu hingga wajahnya dengan mudah dapat melihat kembali tumpukan brosur-brosur sekolah hasil surveinya tadi.
“Hmmm gilaa, masak saya harus mengeluarkan uang 3 juta per bulan hanya untuk membayar SPP anak saya”, gumamnya sambil membaca salah satu brosur sekolah swasta favorit yang berlokasi di barat daya pinggiran kota Depok.
Tak sadar ia kemudian menjatuhkan begitu saja brosur yang sudah dibacanya lebih dari sebelas kali itu.
Jhon tidak tetarik untuk melihat brosur-brosur lainnya, karena brosur yang baru saja dilihatnya itu adalah brosur sekolah yang paling murah biaya SPP perbulannya maupun uang gedung yang harus dibayar ketika admisi.
Handphonenya kembali bergetar, rupanya, Robie, istrinya kali ini menelepon karena sms yang ia kirim tadi tidak dihiraukan oleh Jhon.
“Ayah gimana sih, di sms kok gak membalas,” suara istrinya kali ini agak meninggi. Meski suara itu ada di balik speaker kecil sebuah handphone, suara itu cukup membuat John kembali menghela nafas dalam-dalam dan mengernyitkan dahi.
“Iya Ma, aku sedang mempertimbangkannya, ini ada banyak pilihan sekolah “bagus-bagus”, tapi biaya SPP bulanannya mahal-mahal Ma”, sergah John menjelaskan sekenanya pada sang istri.
“Mahal berapa sih yah? Kata teman-teman di kantor, SPP per bulan 3 juta atau lebih itu sudah wajar yah untuk ukuran sekolah yang bermutu di Jakarta,” ujar sang istri.
John kembali menghela nafas, “Ok deh Ma, ntar jam 19.00 ‘kan Mama dah sampe rumah, kita bicarakan di rumah aja nanti ya?”, John berharap agar istrinya setuju untuk mengakhiri percakapan telepon itu.
“Oke deh Yah”, ucapan istrinya benar-benar seperti harapannya, ia kemudian menutup telpon selulernya.
John kembali menselonjorkan kakinya dan menempelkan punggungnya di sandaran sofa. Beberapa pertanyaan berkecamuk dalam benaknya.
Jhon sebenarnya mafhum bahwa pendidikan memang mahal apalagi pendidikan yang berkualitas. Ia juga menyadarai bahwa kriteria sekolah yang bermutu dan baik sangatlah panjang. Sekolah harus mempunyai filosofi yang kuat dan baik sebagai acuan untuk mengarahkan sekolah pada peningkatan kualitas pembelajaran dan pengajaran. Sekolah harus mempunyai fasilitas penunjang yang cukup seperti rasio gedung dan jumlah siswa cukup, ada taman bermain, lapangan “in” dan “out door” untuk olahraga harus tersedia, audio-video dan tehnologi informasi harus ada, rasio-guru harus ideal, guru-staff harus professional dalam bidang nya masing-masing, guru dan staf harus “melek” bahasa maupun tehnologi, tersedianya fasilitas bimbingan yang bermutu bagi setiap murid yang bermasalah, ke-amanan dan kesehatan lingkungan sekolah juga harus terjamin, dan masih banyak lagi, “ini dan itu”.
“Hmmm”, John menghela nafas panjang.
Ia kembali bertanya dalam hati, ia tiba-tiba meragukan pernyataannya sendiri bahwa sekolah yang berkualitas harus mahal, ia juga meragukan bahwa sekolah yang berkualitas akan mengeluarkan “out put” lulusan yang juga berkualitas pula.
“Hhuuuuhhh”, rupanya Jhon semakin dibikin pusing oleh pikirannya sendiri.
Ia menggerutu pelan seakan bicara sama seseorang, “Bukankah Bapak yang pengusaha kaya raya sekaligus petinggi partai itu alumni sebuah perguruan tinggi favorit “Institute Tehnologi *****”, salah satu sekolah tinggi nomor wahid di sebuah kota di Jawa Barat? Tapi kenapa dia tak pernah merasa berdosa ketika perusahaannya ”mencemari” lingkungan dan membuat ribuan orang di Jawa Timur mengungsi?”
Dalam hati Jhon juga bertanya-tanya, “bukankah Jenderal berbintang *** itu alumni sebuah akademi “keamanan” yang sangat favorit di Semarang. Tidak semua orang cerdas bisa masuk ke akademi itu, tapi kenapa sekarang dia tidak bisa menjadi aparat keamanan yang baik hingga akhirnya ia tersangkut kasus “sogok-menyogok” dalam pemilu dan sekarang menghuni hotel prodeo?”.
Pertanyaan-pertanyaan terus menggelinding dalam benak Jhon, “Bagaimana dengan si Ganyus itu, bukankah dia alumni sekolah “Administrasi” ternama, hanya orang-orang yang berotak “se-encer air” yang bisa masuk ke sekeloh favorit itu, tapi kenapa banyak alumni-nya, tidak hanya Ganyus, tapi mungkin ratusan “Ganyus-ganyus yang lain” telah membuat direktorat pajak kita merugi?”
“Huhhh”, teriak Jhon sambil menghirup nafas dalam-dalam. ia semakin bersemangat mencari-cari contoh yang relevan antara sekolah favorit dan “output”nya.
“Bagaimana dengan Pak Soesi?”, teriak Jhon dalam hati. “Ups”, rupanya Jhon tidak berani berprasangka buruk pada Pak Soesi, karena Pak Soesi salah satu idola Jhon. Pak Soesi, setahu Jhon, sudah mengenyam pendidikan di SMP dan SMA favorit di kotanya, dan kemudian bisa diterima di sebuah akademi “Ketentaraan” terfavorit di negeri ini, bahkan Pak Soesi juga pernah mendapat beasiswa untuk sekolah master di akademi “ketentaraan” paling bonafid di “Westpoint” Amerika. Tapi, pertanyaan besarnya, kenapa Pak Soesi tidak mampu jua berbuat banyak ketika menjadi orang nomor satu di “provinsi” ini? Sebagai seorang gubernur yang berkuasa penuh, kenapa pak Soesi tidak berani mengusut dugaan penggelapan pajak yang dilakukan seorang pengusaha sebesar 1,3 triliun. Kenapa pula pak Soesi tidak berani mengungkap kasus korupsi Bank Centuly yang telah jelas-jelas merugikan daerahnya sebesar 7,5 triliun?
“Ahhhh”, sergah Jhon bernada protes yang ditujukan pada dirinya sendiri.
“Bukankah Pak Soesi selalu mengenyam pendidikan yang bagus dan “berkualitas” dari sekolah-sekolah “favorit”, tapi kenapa dia tidak pernah “tegas” dan “berkualitas” dalam mengambil kebijakan penting untuk kepentingan warga di daerahnya?”.
“Bagaimana dengan Obama, bukankah Obama sang presiden Amerika itu lulus dari sekolah Hukum Harvard , bahkan lulus dengan “Summa Cumlaude”, siapa yang meragukan sekolah hukum Harvard, selain sekolah Hukum Yale, mungkin hanya sekolah hukum milik Tuhan di Sorga yang bisa mengalahkan kehebatan sekolah itu, tapi kenapa ketika Obama memimpin dan mengambil kebijakan hasilnya justru tidak ada bedanya dengan kebijakannya Bush Junior yang “O’on”?”
“Hmm, sepertinya sekolah favorit dan berkualitas tidak terlalu berimbas pada hidup mereka, dan celakanya, imbas buruk justru diterima oleh jutaan orang lain”, Jhon seakan meyakini kesimpulan-kesimpulan nya sendiri dari jawaban atas pertanyaan yang ada di otaknya.
Jhon berdiri sejenak, dan melangkah pelan menuju dapur, ia buka kulkas, diambilnya sebuah botol air putih, dituangkannya isi botol itu ke sebuah gelas hingga meluber. Sekejap kemudian air di gelas itu mengalir ke tenggorokannya yang kering.
“Yups”, gumam Jhon pelan sambil manggut-manggut pelan. Ia tiba-tiba teringat beberapa kisah penting yang ia baca di beberapa blog yang telah mempengaruhi pertimbangannya dalam memilihkan sekolah buat Queen Aisyah anaknya yang sebentar lagi masuk sekolah dasar.
Jhon teringat kisah Adam Khoo, warga negara Singapura yang selalu mendapat sekolah terburuk, tiga kali pindah sekolah waktu di sekolah dasar di singapura, dan ketiganya adalah sekolah yang berkualitas rendah dan selalu dihindari oleh orang tua murid. Akhirnya ketika lulus SD, ia juga diterima di sekolah menengah yang terburuk di singapura, keluarga dan teman sepermainannya selalu mengoloknya karena ia selalu mendapat sekolah yang berkualitas rendah. Bagi orang singapura, sekolah berkualitas dan favorit adalah harga mati. Tapi, karena situasi yang demikian, Adam termotivasi untuk sukses di dunia bisnis selulus dari SMA, dan kemudian ia sukses pada usia 26 tahun dengan omzet pertahunnya sudah mencapai 20 juta US dollar. Dan sebelumnya, pada usia 22 tahun ia telah menjadi trainer motivator bisniss terkemuka dengan tariff 10.000 US dollar per jam.
Jhon juga teringat kisah Thomas Alfa Edison, pada usai 4 tahun, ia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap bodoh dan sedikit tuli. Sejak saat itu ia tidak pernah sekolah formal. Terhitung ia hanya sekolah selama 3 bulan, selebihnya ibunya sendiri yang mengajarinya, dan lainnya ia belajar autodidak.
“Oh iya, kenapa aku tidak mau mengambil pengalamanku dan pengalaman istriku sebagai kiblat”, ujar Jhon tersentak.
Yah, Jhon atau lengkapnya Drs. Parjhono, MA, PhD, adalah anak desa yang kini bekerja di Litbang Departemen Keuangan. Ia menamatkan sekolah dasar INPRES di Desa Sloko Puro Kecamatan Sumber Manis, di kaki Gunung Lawu Magetan Jawa Timur. Kemudian ia melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri di kota kecamatan Sumber Manis, setelah itu ia menamatkan SMA swasta yang dikelola yayasan Ma’arif di Ibukota kabupaten Magetan. Sekolah-sekolah yang dilalui John adalah sekolah-sekolah kelas dua atau bahkan kelas tiga yang jarang dilirik oleh para orang tua murid, tapi berkat ketekunan, bimbingan guru dan orang tua yang baik, akhirnya John bisa masuk fakultas ekonomi di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Dan akhirnya, Jhon bisa mengenyam beasiswa dari pemerintah Inggris untuk bersekolah di Universitas Saint Andrews hingga mendapatan gelas MA dan PhD di bidang Ekonomi Pembangunan.
Di Universitas di Skotlandia itu pulalah, Jhon atau Parjhono ketemu sama Robie atau Dra. Robie’atuladawiyah, MPA. Robie, begitu biasa istrinya dipanggil juga merupakan anak desa yang menamatkan sekolah dasar di desa terpencil, sekolah menengah di SMP swasta di sebuah kecamatan di di lereng gunung Batu Raden di Banyu Mas, dan menamatkan SMA dan perguruan tinggi di Kota Purwoketo. Kini Robie bekerja di sebuah lembaga donor international yang khusus bekerja di bidang pengentasan kemiskinan.
Dan, akhirnya, Jhon dan Robie, bersepakat untuk menyekolahkan anak mereka, Queen Anisah, di sekolah SD INPRES di seberang komplek perumahan tak jauh dari tempat mereka tinggal. Hampir tidak ada anak-anak dari komplek perumahan “elit” itu yang bersekolah di SD tersebut. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah-sekolah swasta atau negeri favorit yang berlokasi di tengah kota Jakarta.
Banyak tetangga yang merasa aneh pada keputusan Jhon dan Robie untuk menyekolahkan Queen di sekolah SD Negeri “biasa” di seberang jalan komplek perumahan mereka. Murid-murid di sekolah itu kebanyakan berasal dari kampung-kampung seberang jalan. Orang tua murid-murid di situ umumnya berasal dari berbagai kalangan dengan beragam status dan pekerjaan. Ada anak pedagang sayur, tukang ojek, satpam pabrik, buruh pabrik, dan berbagai profesi kelas menengah ke bawah lainnya.
John dan Robie berdalih bahwa yang terpenting adalah bagaimana orang tua menjaga interaksi dengan anaknya, membimbing anaknya, membangun komunikasi yang intensif dengan guru-gurunya di sekolah, hingga anaknya mendapat perhatian yang cukup dari orang tuanya maupun para guru di sekolah sehingga anaknya mampu menyerap nilai-nilai tentang pentingnya ketekutan dan kesungguh-sungguhan untuk selalu belajar dan bekerja keras dalam mengarungi proses pembelajaran. Kalau penanaman nilai-nilai itu tidak ada, maka sekolah “super favorit” pun tidak akan mampu membenuk karakter siswa yang kuat dan menghargai proses pembelajaran.
Jhon dan Robie juga sepakat, mengirim anaknya untuk bersekolah di SD INPRES yang “biasa-biasa” seperti itu bertujuan agar anaknya, dalam kesehariannya, bisa belajar bergaul dengan berbagai macam anak dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tentunya, ia berharap agar sikap empati anak nya untuk menghargai perbedaan dan menghargai kaum yang lemah dapat terbangun sejak dini. Bagaimana mau mersakan empaty pada yang lemah dan menghargai perbedaan kalau lingkungan sekolahnya tidak mencerminkan demikian. Begitulah kira-kira yang ada dalam benak Jhon dan Robie.
Selamat pada Pak Drs. Parjhono, MA, PhD dan Ibu Dra. Robie’atuladawiyyah, MPA.
Selamat pula untuk ibu-ibu yang sedang memilih sekolah.
Yogyakarta, 12 Mei 2011
Sumber gambar:
http://4.bp.blogspot.com/_XmzeUCjSs70/TB_-1TLdHiI/AAAAAAAAAC4/d0zYDCokkmg/s1600/baca.jpg
http://www.mediaindonesia.com/spaw/uploads/images/article/image/20101108_085941_sekolah.jpg
Leave a Reply