Habermas menulis bahwa konsep formal rasionalitas, yang diderivasikan Weber dari tindakan rasional bertujuan (purposive-rasional)-nya pengusaha kapitalis, buruh upahan industri, ahli-ahli hukum abstrak, dan pejabat administratif modern yang berlandaskan pada kriteria ilmu pengetahuan sebagaimana halnya teknologi yang memiliki implikasi-implikasi substantif yang spesifik. Harbert Marcuse yakin bahwa apa yang Weber sebut sebagai ‘rasionalisasi’ tidak sekedar merealisasikan rasionalitas saja, tetapi lebih dari itu, atas nama rasionalitas, juga merealisasikan sebentuk khusus dominasi politik yang tersembunyi. Karena rasionalitas semacam ini meluas sampai pemilihan-pemilihan strategi yang tepat, aplikasi-aplikasi teknologi yang tepat, dan pembentukan sistem yang efisien (dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya pada situasi-situasi tertentu).
Rasionalitas tersebut menggeser keseluruhan kerangka kerja sosial dari wilayah refleksi dan rekonstruksi rasional ke dalam kepentingan pemilihan strategi-strategi, pengaplikasian teknologi, dan pembentukan sistem. Lebih jauh lagi, rasionalitas hanya berjalan dalam relasi-relasi kontrol teknis yang mungkin, dan karenanya membutuhkan tipe tindakan yang mengimplikasi dominasi, entah atas alam atau masyarakat. Dalam landasan strukturnya sendiri, tindakan rasional bertujuan adalah pelaksanaan kontrol (Toward a Rational Society, p.81-82). Sebagaimana Marcuse, Habermas juga menyatakan bahwa rasionalitas teknik yang menghasilkan kemajuan teknik saintifik tidak hanya memiliki fungsi sebagai kekuatan produktif, namun juga sebagai ideologi. Sebagai ideologi artinya sebagai kerangka berpikir yang harus dibatinkan oleh masyarakat dalam segala sendi kehidupan kesehariannya. Rasionalitas, dalam hal ini rasionalitas ala kaum industrialis-kapitalis, harus menjadi rasionalitasnya masyarakat. Dan karena rasionalitas ini adalah rasionalitasnya “kontrol”, maka realitas yang tercipta pun adalah dominasi dan kontrol. Entah itu kontrol atas alam atau pun atas masyarakat. Akibatnya penindasan disahkan dan diwajarkan demi efisiensi produktivitas. Marcuse secara jeli mengamati hal ini, hanya saja persoalannya bagaimana mengatasi ideologisasi rasionalitas yang berlandaskan dominasi subyek-obyek ini. Habermas pun lalu mengajukan gagasan bahwa kita harus mereformulasi konsep rasionalisasinya Weber.
Untuk mereformulasi realisasinya Max Weber, Habermas lalu membagi dua wilayah tindakan manusia, yaitu kerja dan komunikasi. Atau dalam pernyataan Habermas sendiri, “Dalam rangka untuk mereformulasi apa yang disebut Weber sebagai ‘rasionalisasi’, saya akan mengajukan kerangka kategori yang lain. Saya akan mengambil sebagai titik awal saya perbedaan yang mendasar antara kerja dan interaksi.” (Toward a Rational Society, p.91). Jika tindakan kerja dilandasi oleh kerangka berfikir “aturan-aturan teknis” (technical rules) yang tujuannya ialah menemukan tindakan yang efektif dan mengontrol realitas, maka tindakan interaksi dilandasi oleh kerangka berpikir ‘norma-norma konsensus’ (consensual norms) dengan tujuannya untuk mencapai konformitas atas norma-norma berdasarkan penguatan yang timbal balik. Jadi menurut kerangka pemikiran Habermas, ada dua model rasionalitas, yaitu rasionalitas interaksi dengan tujuannya untuk mencapai emansispasi individu dan perluasan komunikasi yang bebas dominasi, dan rasionalitas kerja dengan tujuannya untuk menmcapai pertumbuhan kekuatan produktif dan perluasan kontrol teknis. Dua rasionalitas inilah yang menurut Habermas tak boleh dilalaikan dalam kehidupan masyarakat. Jadi seharusnya rasionalitas bidang kerja tidak menghancurkan rasionalitas bidang interaksi. Atau lebih tepatnya, rasionalitas bidang kerja tidak boleh lagi menyusup di wilayah interaksi.
Tetapi masalahnya, siapa yang akan membangun rasionalitas bidang interaksi di tengah kehidupan riil masyarakat? Jika rasionalitas bidang kerja diteguhkan oleh kekuatan-kekuatan para kaum industrialis kapitalis, kaum birokrasi-teknokrat, lewat lembaga-lembaga pemerintah, lewat lembaga-lembaga pendidikan, media massa dan sebagainya, lantas siapa yang akan “mencipta” tumbuh dan berkembangnya rasionalitas interaksi di dalam kehidupan masyarakat? Siapa yang akan menjadi kekuatan-kekuatan pengkonstrksi rasionalitas interaksi?
Kita akan bisa memahami betapa persoalan mengenai “siapa” itu sangat urgen untuk diajukan jika kita melihat betapa kokoh kuatnya kerangka berpikir dan bersikap kita dalam kehidupan sehari-hari yang secara tak sadar berlandaskan rasionalitas kerja. Kita selalu mudah jatuh dalam kerangka persepsi bahwa orang lain, manusia lain adalah alat yang efektif bagi pencapaian kepentingan ekonomis, sosial maupun politik kita. Rasionalitas teknik yang menekankan pada “bagaimana mencapai efisiensi dan produktifitas tindakan?” telah begitu mendalam pengaruhnya di dalam diri kita. Kita berinteraksi dengan individu-individu atau kelompok-kelompok yang lain bukan lagi karena pertimbangan rasional kita, individu-individu atau kelompok itu merupakan sarana dan alat yang efektif bagi tujuan kita. Kita tak lagi menghayati ‘orang lain’ sebagai sebuah ‘panggilan etis’ sebagaimana yang diuraikan oleh Emmanuel Levinas (1906), seorang filosof Prancis namun sebagai alat dan sarana bagi kepentingan tujuan kita. Tidak berbeda dengan kerangka pemikiran dan penghayatan kaum industrialis-kapitalis yang memandang orang-orang lain hanya sebagian dari alat produksinya.
Rasional Teknis ala Indonesia
Tetapi untunglah kita tinggal di Indonesia, sebuah negeri tempat pertemuan berbagai gagasan-gagasan teoretik dan praksis yang berbeda-beda. Mungkin saat kita berbicara tentang menguatnya rasionalitas teknik merajalela di kesadaran individu-individu, yang sebenarnya kita bicarakan adalah kehidupan di “ruang kehidupan kota”. Kita masih punya ruang kehidupan yang lain, kita masih punya “ruang kehidupan desa”. Memang mungkin ini generalisasi yang terlalu menyederhanakan realitas karena toh dalam kenyataannya ada desa-desa yang kebudayaannya “sungguh-sungguh kota”. Tetapi tak apa, pembedaan ini hanyalah sebagai pembantu pemahaman kita, dan bukan sebagai realitas yang absolut.
Kita masih punya “ruang kehidupan desa”. Setidaknya di sana kita masih bisa melihat rasionalitas yang lain dari rasionalitas kerja. Lihat saja di desa-desa, betapa kemampuan dari rasionalitas interaksi adalah kunci segala-galanya bagi kehidupan sosial mereka. Sebagai contoh, di desa, seseorang yang mendapatkan jabatan ataupu rizeki besar, meski itu merupakan hak milik pribadi yang mutlak, namun sepanjang ada konsensus sosial yang mengharuskannya untuk berbagai rezeki dengan sahabat-sahabat terdekat dan tetangga-tetangga di sekelilingnya, maka itulah yang harus dilakukannya. Dia yang menolak akan mengahadapi sangsi sosial. Pertimbangan keterikatan pada konsensus sosial lebih besar daripada pertimbangan untung-rugi atau efisien-tidak efisien. Jadi, kehidupan sosial mereka lebih tertata dan terbangun oleh norma-norma sosial daripada aturan-aturan teknik. Jika kita membandingkan realitas desa kita dan kategori-kategoti yang diususun Habermas mengenai rasionalitas interaksi, mana yang tidak ada di realitas kehidupan sosial kita?
Apakah ini berarti masyarakat kita telah membaca Habermas? Ha..ha..ha…, tentu saja belum. Lantas apa yang membuat mereka secara ‘tidak sadar’ telah berhasil membangun ‘masyarakat rasional’ model Habermas? Untuk itu kita harus memahaminya secara empatik, dan bukan dengan pengamatan berjarak.
Saya berkeyakinan kita akan gagal memahami “prestasi” tersebut jika kita berusaha mencari-cari sumbernya dalam kekuatan rasio masyarakat desa. Itu bukan berarti masyarakat desa tidak pernah menggunakan rasionya, hanya saja masyarakat desa kita menjalani hidupnya tidak berlandaskan dominasi rasio, namun atas landasan dominasi perasaan. Perasaanlah yang menjadi motor penggerak kehidupan sosial mereka. Jadi kurang kuat jika kita menerapkan tema analisa “pikiran-pikiran apa yang menggerakkan kehidupan sosial desa?”; mungkin yang lebih pas adalah dengan menerapkan tema analisa “perasaan-perasaan apa yang menggerakkan kehidupan sosial desa?”
Pikiran-pikiran yang luar biasa bagusnya belum tentu menggerakkan sejarah kehidupan dan kebudayaan masyarakat desa, namun hal-hal yang mampu menggetarkan perasaan-perasaan mereka akan dengan mudah menggerakkan tindakan-tindakan sejarah mereka. Jika dikontraskan dengan masyarakat barat yang modern, yang telah terbiasa merefleksikan dan menata kehidupan sosialnya secara rasional, masyarakat desa kita telah terlatih secara berabad-abad untuk menata dan mencipta atmosfir dan realitas kehidupan sosialnya dengan menggunakan perasaan-persaannya. Di sini nyatalah bahwa realitas sosial itu tidak harus ditata dan dibangun secara rasional dan ilmiah sebagaimana ciri-ciri Auguste Comte agar tercipta kemajuan dan kebahagiaan umat manusia. Semoga!
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Majalah Jelajah Budaya yang terbit bulanan dalam bentuk cetak pada edisi perdana Februari 2004.
sumber gambar: http://blog.etrend.sk/michal-lehuta/files/2011/01/habratz.jpg
Leave a Reply