Judul: Politik Pendidikan Penguasa
Penulis: Benny Susetyo
Penerbit: PT LKiS Pelangi Aksara
Tahun: 2005
Tebal: 224
ISBN: 9798451244
Cita-cita pendidikan adalah mewujudkan manusia menjadi beradab dan berbudi luhur, manusia yang berperasaan dalam dan menghargai hakikat manusia lainnya sebagai sesama yang harus dicintai. Pendidikan tidak memandang si kaya dan si miskin. Pendidikan memperlakukan manusia sebagai manusia, tidak peduli berasal dari keluarga ningrat atau keluarga melarat. Sebab pendidikan adalah wilayah netral yang bisa dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang identitas; pendidikan bersifat obyektif.
Jika di masa penjajahan Belanda, pendidikan di Indonesia hanya diperuntukkan bagi golongan kaya, darah biru atau kaum ningrat, mungkin bisa dimaklumi lantaran mereka memiliki akses menuju ke sana. Namun jika sekarang di mana kita sudah lepas dari kolonialisme, pendidikan masih berorientasi hanya untuk mendidik dan mengajar si kaya, maka lantas muncul pernyataan, apa yang sedang terjadi?
Itulah politik pendidikan penguasa. Dengan membeda-bedakan seperti itu, bangsa ini tak sadar bahwa pendidikan manusianya amat amat jauh tertinggal dari negara lain.
Mengutip laporan eksklusif Suara Pembaruan (7/3/2003), jelas sebagai bangsa kita harus malu karena pendidikan Indonesia terburuk, bahkan dalam konteks Asia. Dalam laporan yang ditulis oleh Eko B Harsono itu, kita semakin tak habis pikir bagaimana bangsa ini merawat dan menyelenggarakan pendidikannya.
Penulis merasa tertarik untuk mengutip kembali cerita di awal laporan itu. Ketika pesawat AS menghujani Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom, Kaisar Jepang, Hirohito, tiarap di lantai. Konon tidak lama kemudian ia berdiri tegak. Kalimat pertama yang dia ucapkan dengan penuh emosi adalah, “Berapa guru yang masih hidup? Kita akan segera bangkit lagi dan menjadi bangsa terhormat di muka bumi.”
Ceritanya yang lain adalah sewaktu bala tentara Nazi memporakporandakan Eropa, termasuk Inggris, pada 1942, Perdana Menteri Winston Churchill dipanggil parlemen. Ia diajak membahas penambahan anggaran militer untuk biaya perang. Anggota parlemen minta anggaran pendidikan dikurangi dan dialihkan ke anggaran militer untuk membuat bom, amunisi, dan pesawat tempur.
Mendengar desakan parlemen, Winston Churchill berdiri di mimbar dan mengangkat telunjuk tangannya sambil berkata:
“Tuan-Tuan yang terhormat, apakah Tuan-Tuan lupa bahwa Tuan-Tuan duduk di dalam ruangan ini karena pendidikan.”
Politik Pendidikan Penguasa
Pendidikan tidak saja mencerminkan sejauhmana proses transformasi sosial telah berhasil dalam sebuah negara, melainkan juga menunjukkan baik buruk tampang penguasa. Itulah mengapa pendidikan memiliki dampak yang luar biasa bagi proses bertumbuhkembangnya kesadaran umat dalam suatu bangsa. Karenanya sering pemerintah suatu bangsa bertindak dengan kebijakan-kebijakannya untuk mengelola pendidikan.
Di sinilah mula-mula persoalan terjadi. Oleh penguasa, sering pendidikan sudah dihilangkan makna hakikinya. Pendidikan bukan lagi menjadi alat untuk melakukan transformasi dari kegelapan menuju pencerahan. Dalam berbagai kebijakan pendidikan itu terselip berbagai macam proyek yang sering hanya berujungpangkal pada uang dan keuntungan penguasa, pemenangan ideologi dan kepentingan kelompok di atas kelompok yang lain, sampai pencampuradukan antara kepentingan pemenangan agama yang simbolistik dan ketidakjelasan arah visi yang dituju. Semua serba kacau. Dan pendidikan berubah wajah menjadi menyeramkan, sebagai proses pembodohan melalui proyek-proyek yang simpang siur, proses menciptakan anak didik dari yang cerah menuju yang gelap. Konstitusi yang jelas-jelas menitahkan agar negara “mencerdaskan kehidupan berbangsa” sering tidak diberi makna yang adil dan memadai.
Leave a Reply