Hannah Arendt, wanita berdarah Yahudi yang sampai hari ini namanya masyhur sebagai salah satu pemikir dari barat. Cerita Arendt mulai nyaring tersengar tatkala ia ditugaskan untuk melakukan reportase persidangan Eichmann di Israel. Hingga kemudian hasil reportase tersebut diterbitkan menjadi beberapa edisi di The New Yorker pada tahun 1963. Sudah menjadi rahasia umum jika Eichmann diadili karena kasus genosida dan statusnya sebagai jenderal tinggi di kekuasaan Nazi. Oleh Israel, Eichmann ditangkap di Argentina tatkala ia sedang melarikan diri.
Saat memasuki dunia kampus, Arendt bertemu dengan Heidegger yang juga dosen beberapa mata kuliah filsafatnya. Oleh Heidegger, Arendt yang terlihat menonjol dari segi kepintaran dan kecantikan dijadikan sebagai salah satu mahasiswa paling disayangi. Beberapa kali pasangan dosen-mahasiswa ini banyak menghabiskan waktu berdua. Karena kedekatan itu pula yang kelak menjadikan pandangan Arendt mengenai Eichmann mengalami ambiguitas. Selain Heidegger, pemikiran Arendt banyak dipengaruhi oleh orang-orang baru seperti Adorno dan lainnya.
Salah satu penemuan Arendt dalam kasus Eichmann adalah tentang Banalitas Kejahatan. Dalam artian banalitas merupakan sikap cenderung diluar batas (kekerasan) yang pada hakikatnya tidak disadari atau tidak diiyakan oleh pelaku karena baginya segala sesuatu yang dilakukan disesuaikan dengan peraturan dan ketentuan yang ada. Meski begitu, dalam kacamata Arendt, Eichmann bukanlah sosok yang begitu bersalah dan layak disalahkan. Bagi Arendt, sosok Eichmann tidak lebih dari bapak yang baik bagi anak-anaknya.
Secara garis besar, latar belakang penulisan Arendt merujuk pada dua kondisi besar di masa itu. Pertama, berdasarkan pada pandangan tradisional eropa sewaktu Perang Dunia 1 yang menyatakan bahwa kekuasaan dilaksanakan untuk melanggengkan dan mendisiplinkan pemerintahan. Kedua, mengenai permainan senjata yang berujung pemusnahan massal pada Perang Dunia 2.
Arendt juga memunculkan apa yang dimaksud dengan ketidakberpikiran. Ketidakberpikiran adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengambil jarak dan berpikir kritis pada suatu masalah atau kondisi yang pada akhirnya membuat penilaian tidak netral. Ada perbedaan antara orang yang bodoh dengan orang yang tidak berpikir. Tidak semua orang yang bodoh berarti tidak berpikir. Pun sebaliknya, bahwa orang yang cerdas juga belum tentu berpikir dalam beberapa hal.
Dari ketidakberpikiran tersebut, semua manusia juga memiliki sifat bawaan untuk melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan atas dasar ketidakberpikiran bukan melulu mengenai kejahatan fisik. Lebih dalam Arendt juga menjelaskan mengenai represi-represi yang dilakukan karena kebiasaan dan keharusan. Pelaksanaan represi dengan bentuk kecil seperti perintah oleh pemilik dominasi kepada mereka yang didominasi juga merupakan langgengnya dominasi akan kekuasaan. Dalam kompleksitas sebuah sistem yang ada, kekuasaan dengan bentuk totaliarisme ini biasanya tidak dapat di demokrasikan. Sebagaimana kasus Eichmann yang ketika ditanyai hakim selalu mengulang “Saya hanya mengikuti hukum yang ada. Jika saya tidak mengikuti hukum yang ada, pasti saya yang akan dihukum” dengan benturan nilai-nilai kemanusiaan. Sekuat dan sebesar apapun pemahaman atau keyakinan seseorang akan nilai kemanusiaan atau kebiasaan yang ada pada akhirnya sering kali terbentur oleh sistem hukum dan peraturan yang ada.
Arendt juga menceriterakan bahwa tindakan manusia terbagi menjadi dua. Yakni irreversible (tidak dapat kembali ke titik nol) dan unpredictable (tidak dapat diduga). Dimana dalam setiap tindakan yang dilakukan juga membuat beberapa konsekuensi lain yang bersifat tidak terduga dan tidak dapat kembali seperti semula. Lebih lanjut, Arendt mengamini bahwa kekerasan yang digunakan sebagai senjata dari menjadi lazim diterapkan. Disisi lain, ia juga berpikiran bahwa kekerasan dalam kekuasaan pada akhirnya akan merusak kekuasaan tersebut.
Hal tersebut yang kemudian menimbulkan istilah Vita Activa, yakni konsep kehidupan yang membedakan manusia dengan hewan. Jika hewan hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan perut dan berkarya untuk mennghasilkan sesuatu, manusia hendaknya memiliki motif aksi politik. Aksi politik disini menekankan pada kebebasan dan kesadaran manusia akan segala sesuatu yang dilakukan. Artinya, sudah menjadi keharusan bahwa setiap hal yang dilakukan oleh manusia didasarkan pada kebebasan dan kesadaran diri sendiri maupun universal.
Pada akhirnya, buku Arendt berjudul Eichman in Jerusalem yang diterbitkan dari kumpulan edisi tulisannya mengenai persidangan Eichmann lebih banyak menyoroti mengenai sudut pandang Eichmann sebagai manusia yang terbentur sistem di negaranya. Perkara mengenai latar belakang atau sejarah masa lalu akan tindakan Eichmann bukan menjadi sebuah alasan untuk menghakimi seseorang. Dalam artian, latar belakang seseorang tidak selalu menjadi sebuah dasar untuk menghakimi seseorang. Nyatanya, Arendt menyimpulkan bahwa pengadilan yang dilakukan pada Eichmann di Israel bukan untuk mengadili tindakan Eichmann semasa berkuasa. Tapi lebih pada keinginan Israel untuk memperlihatkan eksistensi sebagai negara baru.
Hingga hari ini, nama Hannah Arendt menjadi salah satu tokoh pemikir perempuan yang masyhur dan abadi. Bukunya juga menjadi rujukan para penulis dan pemikir dalam menjembatani beberapa tulisan dan pemikiran-pemikiran baru.
Leave a Reply