ROKOK dan seluk-beluknya memang dahsyat. Bahkan hanya untuk menyusun regulasi undang-undangnya saja harus mempertimbangkan aspek selain yang telah dibahas terdahulu.
Tercatat, rokok mempunyai integrasi dengan pendapatan negara serta rasa keadilan dan keberlanjutan petani tembakau. Berikut data dan fakta terkait dua aspek tersebut.
Hal itu tampak melalui perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau yang dicatat oleh kementerian keuangan RI. Pada 2005, jumlah penerimaan cukai hasil tembakau senilai Rp 32,6 triliun dengan prosentase terhadap pendapatan pajak dalam negeri sebesar Rp 7,6 persen. Pada 2006 hingga 2007 berturut-turut sebesar Rp 37,1 triliun dengan prosentase 7,7 persen dan Rp 43,5 triliun dengan persentase 7,8 persen.
Disusul pada 2008 dan 2009 berturut-turut sebesar Rp 49,9 triliun dengan prosentase 7,9 persen dan Rp 53,3 triliun dengan prosentase 8,1 persen. Maka, potensi penerimaan pajak dalam negeri itu akan terus dikelola dengan baik. Pemerintah menangkap sinyal tersebut melalui dengan mempertimbangkan aspek tersebut. Kenaikan yang dicatat sangat fantastis.
Data lain yang menunjang pentingnya peran rokok dalam penerimaan negara juga tampak pada tahun 2009. Jika dibandingkan dengan jenis pajak lain, prosentase penerimaan pajak jenis cukai menempati urutan ketiga sebesar 8,4 persen. Dua urutan di atasnya adalah PPH non migas sebesar 44,7 persen dan PPN senilai 31,2 persen. Disusul dibawah cukai terdapat penerimaan PPH migas senilai 7,5 persen dan PBB 3,6 persen.
Aspek kemanusiaan juga tak luput dari pembahasan RUU ini. Antara lain aspek rasa keadilan dan keberlanjuta petani tembakau. Kondisi faktual rantai perdagangan tembakau tidak menguntungkan petani. Mereka banyak tergantung oleh tengkulak yang berdampak pada harga jual. Selain itu, serbuan produk impor juga cukup besar sehingga menurunkan daya tawar tembakau dalam negeri.
Tidak cukup sampai di situ. Rendahnya daya tawar petani tembakau disebabkan harga tembakau ditentukan sendiri oleh industri tembakau. Itu dilakukan tanpa melibatkan campur tangan pemerintah untuk menetapkan harga standar. Biasanya, harga standar ditetapkan oleh grader tanpa sepengetahuan petani terhadap kriteria yang digunakan. Petani juga belum memiliki partisipasi aktif dalam penentuan harga. Saat ini, petani tembakau tengah berada dalam iklim ketidakadilan dalam bisnis tembakau. Apa yang sebenarnya terjadi? (*)
amin says
mantab…saudara kuuu………..kangen juga pinginh ketemu kamu untuk berdiskusi lagi seperti duluu…
hasil tembakau sebagian orang mencemooh biang kerok dari kesehatan akan tetapi dari hasil cukai rokok itu bisa menyehatkan DAN MENSEJAHTERAKAN orang se indonesia…
ROKOK MEMENG BERBAHAYA AKAN TETAPI YANG PALING BERBAHAYA ADALAH ORANG YANG TIDAK MAU ROKOK NYA TAPI MAU UANGNYA ROKOK NYA….SLAM SAUDARA KU…..
Zarkasi Laros says
oke mas bos apersid. rokok anda jangan sampai gulung tikar ya. hahahaha.,., salam rokok.,.,
Saiful Arif says
ya test