Pembangunan kawasan pedesaan sangat erat sekali hubungannya dengan pembangunan kawasan pertanian. Lahan pertanian yang terletak di kawasan pedesaan ini menjadikan latar belakang pekerjaan orang desa adalah menjadi seorang petani. Melihat hal ini peran petani dalam membangun pertanian menjadi sangat sentral sekali dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun hal ini sepertinya belum menjadi perhatian penting bagi pemerintah dalam memprioritaskan bahwa pembangunan desa itu dimulai dari pembangunan kawasan pertanian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada periode 2003-2013, kontribusi di sektor pertanian pada produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku menurun dari 15,19 persen menjadi 14,43 persen. Padahal, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih tinggi yakni 38,07 juta orang. Pertumbuhan di sektor pertanian masih di bawah sektor lainnya. Di sisi lain, impor produk pertanian pada periode 2003-2013 masih besar dari US$ 3,34 miliar melonjak menjadi US$ 14,90 miliar.
Data yang dipaparkan BPS di atas mengindikasikan bahwa pemerintah belum mengintegrasikan dengan optimal antara pembangunan desa dengan pembangunan pertanian. Turunnya dana desa melalui UU No 6/2014, PP No 6/2015, dan beberapa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa) seperti Permendesa No 4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa belum bisa menjawab akan keberlangsungan nafkah rumah tangga petani dalam menjamin peningkatan infrastruktur pertanian (akses terhadap tanah, air, dan pupuk). Pembangunan desa juga lebih sering ditekankan pada pembangunan non pertanian daripada fokus pada pertanian itu sendiri. Bukankah dampak dari adanya otonomi daerah di Indonesia sudah sering menggambarkan bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam daripada fokus mengembangkan produktivitas pertanian dan menjamin kepastian akses sebuah rumah tangga petani ke lahan pertanian mereka.
Progam dana desa tidak bisa dimaknai hanya dengan salah satu progam pengentasan kemiskinan di wilayah pedesaan dengan menggunakan indikator peningkatan pendapatan rumah tangga secara umum saja. Peran pertanian sebagai sektor ujung tombak kawasan pedesaan harus mampu mendapatkan ruang pasti dalam penerjunan alokasi pendanaan tersebut dalam menjawab peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Presiden RI pertama (Soekarno) juga pernah mengatakan bahwa hidup matinya suatu bangsa terletak pada pangan. Jadi urusan dalam pemenuhan kebutuhan pangan harus menjadi prioritas yang utama.
Membangun Kepastian Nafkah di Pedesaan
Kehidupan masyarakat desa dengan setting ekologi yang lebih dekat dengan alam memiliki kecenderungan pertanian menjadi tumpuan utama. Dalam posisi sistem nafkah yang demikian, basis nafkah rumah tangga petani adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian. Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi juga sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya setempat. Terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya. Ketiga elemen tersebut adalah: (1) infrastuktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku), (2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), (3) supra-struktur sosial (setting ideologi, etika-moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku).
Ketiga elemen sistem sosial diatas bisa menjadi semacam security system dalam mengawal masuknya dana desa. Selain itu, lahirnya UU No 6 Tahun 2014 ini tentunya juga akan merubah struktur wajah desa. Pertama, dalam konteks yang luas, misalnya, suatu komunitas (community) atau masyarakat (society) bila komposisi penduduknya berubah maka struktur sosialnya akan berubah. Kedua, adanya perubahan relasi (hubungan) dalam struktur sosial. Dalam hal ini termasuk perubahan dalam struktur kekuasaan (structure of power), otoritas (authority), dan komunikasi dalam struktur sosial yang ada. Ketiga, adanya perubahan fungsi dalam struktur, yaitu menyangkut apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Keempat, adanya perubahan dalam hubungan (relationship) antara struktur-struktur yang berbeda. Ini menyangkut hubungan antara struktur sosial tertentu dengan struktur sosial lainnya di luar struktur yang disebutkan pertama. Kelima, adanya perubahan dalam bentuk munculnya suatu struktur sosial baru dari struktur sosial yang lama. Struktur sosial lama ini mungkin pada akhirnya memudar atau hilang sama sekali; atau dalam beberapa kasus malah terintegrasi dengan struktur sosial yang baru terbentuk itu. Model perubahan sosial yang terjadi nantinya harus bisa di antisipasi sedini mungkin untuk membendung kekacauan sosial yang ada. Hal inilah yang menjadi peran sentral pemerintah dalam melakukan pengawasan disetiap pembangunan wilayah pedesaan
Pemantapan kawasan pedesaan dalam pertanian juga harus ditunjang oleh adanya security mechanism seperti perlindungan terhadap petani yang lemah untuk menjaga jaringan sosial asli di pedesaan. Negara besar seperti Amerika dan Jepang contohnya telah mengeluarkan Agriculture Adjustment Act tahun 1933 sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap nilai asli di kawasan pertanian. Hal ini juga menandakan bahwa Negara-Negara besar selain mengandalkan sektor industri tersebut juga menjaga nafkah rumah tangga petani. Indonesia pada orde baru sudah mengimplementasikan progam Bimas (Bimbingan Massal) yang merupakan suatu sistem yang diciptakan untuk progam intensifikasi dan ekstensifikasi oleh pemerintah dalam peningkatan produksi pangan dengan salah satu progam andalannya adalah revolusi hijau. Dalam struktur Bimas terdapat kelembagaan penyuluh, teknologi, kredit, dan koperasi untuk penyampaian input sarana produksi. Berkat revolusi ini pada tahun 1984 indonesia berhasil dalam melakukan swasembada beras dan di akui oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi, penerapan kebijkan harga baik untuk sarana produksi dan hasilnya, serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur dari pemerintah.
Meskipun demikian, banyak terdapat kritik yang ditujukan pada Bimas dan progam revolusi hijau. Bimas dituding hanya bermanfaat untuk kalangan pemodal saja karena banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan akses sedangkan revolusi hijau mendapatkan kritik dari kalangan pemerhati lingkungan karena penggunaan bahan kimianya yang merusak keanekaragaman hayati serta terjadinya degradasi lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa progam terdahulu yang dilakukan pemerintaah belum berpihak pada keberlangsungan nafkah rumah tangga petani yang miskin. Progam-progam yang dibuat oleh pemerintah sering kali hanya memihak pada orang-orang pemodal saja dan orang-orang yang tidak punya modal dan akses sering kali hanya dianggap angin lalu.
Turunnya dana desa nanti juga diharapkan bisa menjaga keragaman nafkah petani kecil yang kurang memiliki alat-alat produksi. Kondisi mereka juga yang sangat rentan dengan goncangan dari alam berupa banjir, angin, dan serangan hama jangan sampai ditambahi dengan tidak tepatnya pemberian kebijakan dengan tidak menempatkan petani sebagai aktor penentu keberhasilan pembangunan pedesaan. Intitusi sosial asli yang beragam di masyarakat pedesaan Indonesia juga harus mendapatkan porsi utama dalam progam-progam yang pemerintah lakukan agar tidak terjadi kesemrawutan struktur sosial di pedesaan.
Leave a Reply