Judul: Children of Heaven
Sutradara: Majid Majidi
Pemain: Amir Farrokh Hashemian, Bahare Seddiqi
Produksi: The Institute for the Intellectual Development of Children & Young Adults
Tahun: 1997
Ali berlari sekencang-kencangnya. Tujuannya hanya satu: mendapatkan hadiah yang terbaik, menurutnya, dalam sebuah turnamen lari anak antarsekolah di salah satu provinsi di Iran. Pemenang tunamen tersebut akan mendapatkan hadiah berupa: 2 minggu paket wisata liburan dan 1 set baju olahraga bagi juara pertama, 2 minggu paket wisata liburan dan peralatan sekolah bagi juara kedua, serta 1 minggu paket wisata liburan dan sebuah sepatu.
Namun, hadiah terbaik menurut Ali bukanlah paket wisata liburan sekolah di Ramsar, sebuah kota dengan destinasi wisata laut dan pegunungan terbaik di Iran. Bagi Ali, hadiah terbaik juga bukan 1 set baju olahraga ataupun peralatan sekolah. Menurut Ali, hadiah utama yang hendak dikejarnya adalah sepatu. Karena itu, ia terus berlari sekencang-kencangnya dan ‘cuma’ berusaha menjadi pemenang ketiga agar memperoleh hadiah sepasang sepatu.
Definisi Ali terhadap sepatu sebagai hadiah terbaik yang ingin diraihnya dalam turnamen lari tersebut tentunya bukan tanpa konteks.
Ali adalah seorang anak berusia 9 tahun yang berasal dari sebuah keluarga miskin. Ia memiliki seorang adik perempuan bernama Zahra, seorang adik bayi, serta seorang adik lagi dalam kandungan ibunya. Ayah Ali hanyalah buruh kecil di sebuah perusahaan. Sedangkan sang Ibu, meski sedang mengandung tua, tetap bekerja sebagai pencuci karpet di rumah sewaan mereka yang tertunggak pembayarannya selama beberapa bulan.
Sebagaimana lazimnya anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi keluarga miskin, Ali dan Zahra tumbuh sebagai anak yang melek pekerjaan rumah. Ali jarang dapat bermain dengan teman-teman sebayanya. Membantu berbelanja, menjadi kurir suruhan orang tua, serta mengasuh adik-adiknya adalah pekerjaan Ali sehari-hari. Kehidupan sehari-hari Zahra pun tak jauh dari aktivitas rumah, selain bersekolah dan belajar di rumah. Tak heran, Ali dan Zahra pun telah tumbuh ‘dewasa’ di usia kecil mereka, meski logika dan pengetahuan mereka masih kanak-kanak.
Suatu hari, malang tak dapat ditolak, Ali ‘menghilangkan’ sepatu sekolah Zahra. Hari itu, tugas Ali untuk berbelanja. Oleh ibunya, Ali diberi tugas tambahan: membawa sepatu Zahra untuk diperbaiki di tukang sepatu. Sayangnya, sepatu Zahra hilang saat Ali menaruhnya di depan kios belanja. Seorang pemulung memungut bungkusan berisi sepatu Zahra karena mengira bungkusan tersebut adalah bagian dari sampah toko yang biasa dipungutnya setiap hari.
Kejadian tersebut bukan salah Ali, dan juga bukan salah si pemulung. Hilangnya sepatu Zahra merupakan resultan dari berbagai macam vektor kejadian yang terjadi saat itu dan di tempat itu.
Namun, tetap saja Ali harus bertanggungjawab terhadap kejadian yang sesungguhnya di luar kehendak dan kuasanya. Ali harus merayu Zahra, dengan berbagai macam keluguan cara anak kecil, untuk menerima kenyataan bahwa sepatunya telah hilang tanpa tahu kapan akan memperoleh penggantinya. Sekuat daya, Ali pun harus meyakinkan Zahra agar menyembunyikan ihwal kehilangan sepatu tersebut dari kedua orang tua mereka. Sebab, sudah pasti Ali akan menerima kemarahan besar dari mereka berdua. Sebab, sungguhpun sepatu Zahra sudah usang dan penuh tambalan, namun dengan pekerjaannya saat ini, hampir dapat dipastikan akan sulit bagi ayah Ali untuk membeli sepatu sekolah baru bagi Zahra. Dan rupanya Ali berhasil melakukannya.
Tapi, masalah lain lantas muncul: bagaimana Zahra bisa bersekolah tanpa sepatu? Maka, tidak bisa tidak, Ali harus meminjamkan sepatunya untuk dipakai Zahra bersekolah. Untungnya, sekolah Zahra adalah sekolah pagi khusus perempuan sedangkan sekolah Ali adalah sekolah siang khusus laki-laki. Sehingga, meski jarak kedua sekolah tersebut cukup jauh, sepatu Ali bisa digunakan oleh Ali dan Zahra secara bergantian.
Rupanya, jalan tengah tersebut bukannya tanpa masalah bagi keduanya. Sepatu Ali adalah sepatu olahraga laki-laki yang pasti kelihatan berbeda jika dibandingkan dengan sepatu-sepatu yang dikenakan oleh teman-teman Zahra. Tak hanya itu, setiap pulang sekolah, Zahra harus berlari menuju titik lokasi pertemuan dengan Ali untuk kemudian memberikan sepatu kepada Ali, yang kemudian Ali harus berlari menuju sekolahnya. Agar Ali tidak terlambat sampai di sekolah, Zahra memaksakan diri harus pulang tepat waktu. Dalam beberapa kali ujian mata pelajaran, Zahra terpaksa harus menyelesaikannya secara cepat –meskipun sang guru memberikan waktu ekstra– agar dapat secepatnya memberikan sepatu kepada kakaknya. Dan Ali pun kerapkali terlambat tiba di sekolah, yang membuatnya seringmendapat teguran dari kepala sekolahnya.
Ali bukannya tidak pernah berusaha untuk menemukan kembali sepatu milik Zahra. Sesaat setelah sepatu Zahra hilang, Ali berusaha mencarinya ke semua tempat yang dapat dipikirkan dan dijangkaunya. Meski, hasilnya selalu nihil.
Demikian juga Zahra. Nalar kanak-kanaknya menyuruhnya untuk melihat sepatu setiap anak perempuan yang dijumpainya di sekolah. Namun, upaya Zahra tersebut justru memperbesar rasa malunya dalam memakai sepatu kotor, butut dan kedodoran milik kakaknya. Sebab, sepatu-sepatu yang dikenakan teman-teman Zahra rata-rata adalah sepatu yang bagus. Kalaupun ada sepatu teman-temannya yang biasa-biasa saja, sepatu-sepatu tersebut adalah sepatu perempuan yang jelas berbeda dengan sepatu lelaki yang dipakai Zahra.
Hingga suatu ketika, Zahra menemukan sepatunya yang hilang sedang dipakai oleh seorang gadis adik kelasnya. Ia yakin betul bahwa sepatu tersebut memang benar-benar miliknya. Dilakukannya penyelidikan sehingga diketahuinya rumah adik kelasnya tersebut. Lantas, bersama Ali, didatanginya rumah tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan kembali sepatu yang hilang. Namun, rasa empati mereka mengemuka manakala mendapati kenyataan bahwa si gadis tersebut sama miskinnya seperti mereka, bahkan sang ayah keluarga tersebut adalah seorang buta penjual asongan. Zahra pun mengikhlaskan sepatunya dimiliki oleh sang gadis cilik adik kelasnya tersebut.
Ali dan Zahra kembali melakoni sekolah dengan bergantian sepatu. Kali ini tanpa harapan untuk memperoleh kembali sepatu milik Zahra yang hilang.
Lantas, kabar baik dan harapan untuk mendapatkan sepatu bagi Zahra muncul ketika sekolah Ali mengumumkan adanya sebuah turnamen lari. Awalnya, Ali sama sekali tidak tertarik mengikuti turnamen tersebut. Tapi, begitu ia mengetahui bahwa salah satu hadiah bagi pemenang turnamen tersebut adalah sepasang sepatu, sekuat tenaga ia melobi guru olahraganya agar mengikutsertakannya sebagai peserta turnamen mewakili sekolahnya. Lobi dan usahanya berhasil. Maka jadilah ia peserta turnamen lari anak antarsekolah dengan satu tujuan: menjadi juara ketiga agar mendapatkan hadiah berupa sepatu.
Disampaikannya harapan gembira itu kepada Zahra. Meski hanya berupa setitik, cahaya harapan itu diterima dengan gembira oleh Zahra.
—
Ali berlari sekencang-kencangnya untuk mendapatkan hadiah terbaik baginya: sepasang sepatu, yang disediakan oleh panitia turnamen untuk pemenang ketiga. Baginya, arena turnamen berupa jalanan perbukitan yang naik turun dan berkelok-kelok bukan medan yang sulit untuk ditaklukkan. Kaki kecilnya telah tumbuh dengan kuat, dilatih oleh peristiwa hilangnya sepatu Zahra yang membuatnya harus berlari kencang setiap hari menuju ke sekolah.
Ali bisa saja menjadi yang terdepan di akhir turnamen, tapi ia tak menginginkannya. Sambil berlari, Ali memperhatikan para pesaingnya, menjaga posisinya agar tetap berada di urutan ketiga. Jika ia berada paling depan, diberinya kesempatan bagi dua pesaingnya untuk menyalip dirinya. Bila yang berlari di depannya lebih dari dua orang, Ali mempercepat larinya agar bisa menempati posisi ketiga.
Hingga, terjadilah apa yang harus terjadi, yang berada di luar perkiraan Ali. Seorang peserta turnamen berbuat curang: menarik dan menyenggol Ali hingga terjatuh. Antara kaget dan marah, Ali segera bangun dan mempercepat larinya untuk mencapai garis finis yang sayup-sayup sudah kelihatan di depan. Di depannya, sekelompok pelari juga seperti Ali: berusaha secepat-cepatnya menginjak garis finis.
Ali segera terjerembab kelelahan sesaat setelah melewati garis finis. “Apakah aku jadi juara ketiga”, tanyanya penuh harap pada kepala sekolah dan guru olahraganya yang menghambur membangkitkan dan merangkulnya.
“Kau juara pertama, Ali”, jerit guru olahraga Ali, histeris dan bangga. Tapi, kebanggaan itu bukan milik Ali. Kabar kemenangan itu justru menyakitinya. Ditengoknya hatinya, ada harapan yang terbang menghilang dari hatinya, meninggalkan segumpal rasa sakit. Ditatapnya nanar sepasang sepatu baru yang terpajang di samping podium kehormatan. Kemudian ia tertunduk seterusnya.
Badan kecil Ali menurut saja kemana orang-orang dewasa di turnamen tersebut membawa dirinya: digendong pundak dan dielu-elukan, menerima piala, berjabat tangan dengan petinggi provinsi, hingga difoto berulang-ulang. Hatinya sedang tidak berada di tempatnya, apalagi pikirannya. Hati dan pikirannya sedang hinggap di sepasang sepatu hadiah juara ketiga yang kini entah dimiliki oleh siapa.
Gontai langkah Ali pulang. Hanya Zahra yang ingin ditemuinya. Tapi, mulutnya tak mampu berbicara apa-apa. Zahra pun memahami kemasygulan Ali. Seperti Ali, Zahra juga tak mampu berbicara apa-apa. Hanya lari kecilnya ke dalam rumah yang memberi tanda tentang adanya kekecewaan hatinya.
Gelisah hati Ali berlipatganda dengan cepat. Kekecewaan Zahra adalah penambah gundah utamanya. Betapa Ali sangat menyayangi Zahra. “Ah, andai aku jadi juara ketiga,” pikir Ali, “Pasti Zahra tidak akan kecewa seperti ini.” Satu persatu, dicopotnya sepatu yang baru saja membantunya memenangkan turnamen, yang juga adalah sepatu yang digunakannya bergantian dengan Zahra. Ada beberapa luka lecet melepuh di kakinya. Tapi, sakitnya bukan di situ.
Ali terus membiarkan gundahnya berkelana. Tak dihiraukannya canda sekelompok ikan kecil mengerubuti kakinya di kolam tempatnya merendam kaki.
Andai saja Ali tahu, beberapa saat yang lalu ayahnya telah membelikannya sepatu baru, mungkin Ali tidak akan sesedih itu. Ayahnya, yang tidak tahu dirinya mengikuti turnamen lari, apalagi mengetahui bahwa dialah pemenangnya, baru saja membeli sebuah sepatu putih untuknya dan sebuah sepatu merah muda untuk Zahra.
—
Sepintas, Children of Heaven (1997) besutan Majid Majidi adalah film drama yang menceritakan kompleksitas dunia kanak-kanak dalam memecahkan problem hidup mereka, meski dengan susah payah. Menonton film ini, para orang dewasa akan diajak untuk melongok kembali alam kanak-kanak. Bagi anak-anak, menonton film ini akan memberikan sudut pandang lain –yang optimistik– serta menyuguhkan banyak sekali inspirasi dan gagasan dalam menjalani kehidupan kanak-kanak mereka.
Tetapi, lebih dari itu, bisa jadi, film ini adalah sebuah gagasan tentang mengenali, memahami, dan menyikapi rahasia di balik rencana dan kehendak Allah atas hidup manusia.
Katakanlah, segala aktivitas Ali –dan segala upaya untuk mewujudkan keinginannya– adalah metafora dari upaya manusia yang berjuang mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Sepatu Zahra yang diperjuangkan oleh Ali dengan segala daya upayanya merupakan penggambaran material dari cita-cita manusia dalam hidupnya yang dikejar dan diperjuangkan dengan segala daya upaya.
Maka, seringkali ditemukan sosok-sosok seperti Ali, yang terlihat gagal dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan, gagal menjadi juara ketiga dan justru menempati urutan pertama dalam turnamen lari. Padahal apa yang mereka dapatkan dalam perjuangan tersebut sesungguhnya jauh lebih bernilai –dalam pandangan Sang Penentu Takdir– dari apa yang dapat mereka kira.
Dan sebagaimana Ayah Ali membelikan sepatu sekaligus bagi Ali dan Zahra, tanpa sepengetahuan Ali dan Zahra, adalah gambaran keyakinan bahwa sesuatu yang sedang diperjuangkan oleh Ali-Ali yang lain sesungguhnya sedang diberikan oleh Tuhan dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Karena Tuhan tidak akan pernah ingkar janji.
—
Gambar: https://mubi.com/films/children-of-heaven
Leave a Reply