Sore itu, Noko, pemuda yang kesehariannya sering menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis sedang merenung. Setelah sholat ashar tadi ia tak lupa untuk membaca ayat Al-Qur’an, perihal yang tak pernah ia lupakan dalam hidupnya. Noko adalah contoh pemuda konsisten dan qona’ah dalam menjalani setiap lika-liku kehidupan. Bahkan saking konsistennya, ia tak pernah sekalipun menjalin hubungan dengan selain laki-laki. Meski begitu, Noko bukanlah pemuda penyuka sesama jenis. “Aku normal”, begitu jawabnya tiap kali semua orang menghakimi kondisinya.
Hari itu adalah tepat 87 hari pasca wisuda sarjananya. Ingatannya kembali pada 3 tahun yang lalu, saat dimana ia ikut demonstrasi aksi hari buruh. Dengan lantang ia meneriakkan orasi-orasi dan gugatan-gugatan terhadap ketidakbecusan pemerintah dalam memperbaiki nasib para buruh. Suaranya menggelegar bak halilintar, orasinya penuh emosi dan nilai-nilai perjuangan. Singa Podium, begitu semua orang menjuluki Noko ketika sudah mulai berorasi.
Ponsel bermerek Nokia yang sudah dibelinya 12 tahun yang lalu tiba-tiba berdering, ada panggilan dari ibunya.
Ibu : Assalamu’alaikum
Noko : Wa’alaikum salam, Buk
Ibu : Mas, pripun kabare? Sehat nggeh?
Noko : Enggeh, Buk. Njenengan pripun?
Ibu : Ibu sehat, Mas. Kapan wangsul? Ndak usah bingung masalah kerjo, sampean ndang wangsul ae. Iki nang omah wayahe panen.
Noko terdiam, ia seperti dipukul dengan sebongkah kayu besar. Matanya mulai memerah sembab. Ia sadar bahwa seorang sarjana tak selayaknya tidak berpendapatan. Ya, Noko adalah sosok idealis yang tidak mau bekerja sebagai pegawai, buruh lebih tepatnya.
Noko : Enggeh, Buk. Nanti dipikir masak-masak. Nggehmpun, Noko mau mandi dulu. Assalamu’alaikum.
Ibu : Iya, Mas. Wa’alaikumsalam.
Noko kembali dalam lamunannya, ia berusaha untuk meyakinkan diri bahwa kelak ia akan sukses. Sukses dengan segala idealisme dan kemampuannya. Noko percaya bahwa kondisinya sekarang bukan karena kediamannya. Bagaimanapun, segenap usaha sudah coba dilakukannya. Hampir seluruh website pelayanan lowongan pekerjaan ada nama dan kurikulum vitae-nya.
Pemerintah, sosok yang selalu digugat oleh Noko semenjak dahulu hingga saat ini. Andai sistem pendidikan tidak seperti mengajari semua orang menjadi OB, mungkin hari ini dia sudah menjadi atlet sepakbola. Pendidikan yang diikutinya selama ini bukanlah sistem pendidikan yang ia dan Freire idamkan. Pendidikan yang mengharuskannya menjadi robot-robot modern, berotak namun tak berpikir.
Bagaimanapun, Noko adalah seorang anak petani. Ia tidak punya kuasa untuk melakukan tindakan nepotisme seperti tetangganya, Rojul. Teman sebangkunya dahulu di SD yang juga seorang putra anggota DPR. Tidak pintar dalam pelajaran, tidak bisa olahraga, tidak bisa bermain musik. Tapi, sekarang menjadi pejabat di daerahnya.
Noko mulai menyalakan kreteknya, asap-pun berkepulan menyerupai kabut Himalaya. Gayanya yang tenang dan penuh analisis persis seperti Don Vito Corleone. Gerimis yang berjatuhan seolah menambah suasana sendu sore itu. Noko menghela nafas panjang sembari bergumam “Aku pengangguran, maka aku ada”.
Leave a Reply